Headline
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
PENAMPAKAN ganjil terjadi di Gurun Sahara, Afrika. Padang pasir yang biasanya tandus kini berubah menjadi lebih hijau. Salah satu tempat terkering di dunia itu menurut para ilmuwan mengalami dampak perubahan iklim.
Citra satelit baru-baru ini menangkap kehidupan baru di Sahara. Muncul vegetasi yang mekar di beberapa bagian Sahara yang biasanya gersang. Fenomena tersebut terjadi setelah Sahara dilanda badai yang sebelumnya tidak pernah melewati kawasan tersebut.
Badai itu menyebabkan banjir besar. Curah hujan di bagian utara khatulistiwa Afrika biasanya meningkat dari Juli hingga September ketika Monsun Afrika Barat.
Baca juga : Fakta dan Sejarah Gurun Sahara, Dulu Subur Banyak Tumbuhan
Kejadian tidak biasa itu ditandai dengan peningkatan badai ketika udara tropis dari dekat khatulistiwa bertemu dengan udara panas dan kering dari bagian utara benua. Badai Zona Konvergensi Intertropis (ITCZ) tersebut diduga kuat bergeser jauh ke utara selama bulan-bulan hangat di Belahan Bumi Selatan.
Menurut data dari Pusat Prediksi Iklim NOAA, perubahan tersebut menimbulkan badai di Sahara, termasuk sebagian wilayah Nigeria, Chad, Sudan, dan bahkan hingga ke utara Libia. Akibatnya, sebagian Gurun Sahara menjadi dua kali lipat hingga enam kali lipat lebih basah daripada biasanya.
Peneliti iklim di Universitas Leipzig di Jerman, Karsten Haustein, memaparkan bahwa ada dua kemungkinan penyebab pergeseran tersebut. Transisi dari El Nino ke La Nina dinilai memengaruhi.
Baca juga : Gurun Sahara Tumbuhan, Hewan, Penduduk, Ekonomi, Transportasi, dan Eksplorasi
El Nino, pola iklim alami yang ditandai dengan suhu laut yang lebih hangat daripada rata-rata di Pasifik khatulistiwa, biasanya menyebabkan kondisi yang lebih kering daripada biasanya di wilayah basah Afrika Barat dan Tengah. Sementara itu, La Nina dapat memiliki efek sebaliknya. Perubahan iklim ditandai dengan suhu Bumi yang memanas juga disebut menjadi faktor penting lain.
"Zona Konvergensi Intertropis, yang menjadi alasan terjadi penghijauan (Afrika), bergerak lebih jauh dari utara seiring dengan semakin hangatnya dunia. Setidaknya inilah yang ditunjukkan oleh sebagian besar pemodelan," katan Haustein dilansir CNN, Sabtu (14/9).
Studi yang diterbitkan dalam jurnal Nature pada Juni lalu menemukan bahwa pergeseran zona cuaca tersebut dapat terjadi lebih sering dalam beberapa dekade mendatang karena kadar karbon dioksida meningkat dan dunia menghangat. Pergeseran ini tidak hanya menghijaukan gurun tetapi juga mengganggu musim badai Atlantik dan memiliki konsekuensi besar selama beberapa bulan terakhir bagi beberapa negara Afrika.
Baca juga : Masyarakat Diminta Waspada Bahaya Kelistrikan saat Musim Hujan Badai
Negara-negara yang seharusnya mendapatkan lebih banyak curah hujan justru mendapatkan lebih sedikit curah hujan karena badai bergeser ke utara. Sebagian wilayah Nigeria dan Kamerun biasanya diguyur hujan dari Juli hingga September tetapi hanya mengalami 50%-80% dari curah hujan biasanya sejak pertengahan Juli.
Lebih jauh ke utara, daerah yang biasanya lebih kering, termasuk beberapa bagian Nigera, Chad, Sudan, Libia, dan Mesir mengalami peningkatan curah hujan lebih dari 400% dari normal sejak pertengahan Juli lalu. Bagian utara Chad, yang merupakan bagian dari Gurun Sahara, biasanya hanya turun curah hujan hingga satu inci pada pertengahan Juli hingga awal September.
Namun, menurut data, hujan dengan curah antara 3-8 inci terjadi dalam jangka waktu yang sama tahun ini. Curah hujan yang berlebihan tersebut menyebabkan banjir yang dahsyat di Chad. Hampir 1,5 juta orang tedampak dan sedikitnya 340 orang tewas akibat banjir di negara itu pada musim panas ini.
Baca juga : Topan Badai Michaung Datang, India Evakuasi Ribuan Orang
Banjir yang mematikan juga telah menewaskan lebih dari 220 orang dan membuat ratusan ribu orang mengungsi di Nigeria, terutama di bagian utara yang biasanya lebih kering. Di Sudah, banjir terjadi pada akhir Agustus lalu menewaskan sedikitnya 132 orang dan menghancurkan lebih dari 12.000 rumah.
Peristiwa banjir seperti ini kemungkinan besar terkait dengan perubahan iklim. Menurut Haustein, perlu dilakukan riset mendalam untuk menentukan sejauh mana perubahan iklim memengaruhi peristiwa cuaca ekstrem tersebut.
Ketika menghangat, Bumi biasanya akan mampu menahan lebih banyak uap air. Hal ini dapat menyebabkan musim hujan yang lebih basah secara keseluruhan dan banjir yang lebih dahsyat.
"Setiap peristiwa tunggal dipengaruhi oleh perubahan iklim. (Bahkan jika) tidak ada satu pun banjir yang (secara langsung) disebabkan oleh perubahan iklim, kemungkinan terjadinya menjadi lebih besar," ucap Haustein.
Namun, ilmuwan atmosfer di Universitas Teknik Federal (ETH) Zurich, Moshe Armon, berpendapat bahwa fenomena tersebut menjadi bagian dari fluktuasi iklim Bumi dan dampak perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia. "Jawabannya mungkin ada di antara keduanya," kata Armon dilansir Live Science.
Pergeseran iklim di Sahara tersebut juga dikaitkan dengan musim badai Atlantik yang terjadi lebih lemah. Musim badai tahun ini lebih tenang meski prediksi awal diperkirakan terjadi badai yang parah karena suhu laut yang memanas.
Ahli meteorologi NOAA, Jason Dunion, mengatakan selama musim badai tahun ini ITCZ bergeser ke wilayah atas Sahara. Efek dari pergeseran tersebut mendorong hujan lebih jauh ke utara bagian Afrika daripada biasanya dan melintasi Sahara. Gelombang atmosfer dari Afrika juga bergeser ke utara dari jalur biasanya.
Jumlah hujan yang luar biasa tinggi di Sahara juga dapat disebabkan oleh air yang lebih hangat dari biasanya di Samudra Atlantik Utara dan Laut Mediterania. Jika salah satu peristiwa presipitasi langka itu terjadi dan sistem cuaca bergerak di atas lautan atau daratan yang jauh lebih hangat, kemungkinan presipitasi parah akan meningkat.
Sahara diprediksi akan terus mengalami kondisi yang lebih basah di masa mendatang. Aktivitas manusia, terutama emisi gas rumah kaca, mendorong lautan untuk menyerap lebih banyak panas.
Beberapa pemodelan iklim memperkirakan lautan yang lebih hangat akan menggeser hujan monsun lebih jauh ke utara di Afrika pada 2100. Hal itu berarti lebih banyak hujan turun di wilayah yang biasanya lebih kering. Model iklim juga memperkirakan peningkatan emisi gas rumah kaca dapat membuat Sahara mengalami semakin banyak hujan di masa mendatang. (Z-2)
Foto-foto baru menunjukkan sepasang badai putih raksasa yang mengamuk di Sabuk Khatulistiwa Selatan (SEB) Jupiter.
BENCANA banjir besar yang dipicu oleh badai dahsyat di wilayah Valencia menewaskan 51 orang.
Para ilmuwan memperkirakan lebih banyak badai besar di masa depan. IPCC menyatakan aktivitas manusia berkontribusipada fenomena ini.
SETIDAKNYA 133 orang tewas setelah Helene menghantam Big Bend, Florida, Amerika Serikat (AS), pada Kamis (26/9) sebagai badai kategori 4.
Jonathan Porter, kepala ahli meteorologi di AccuWeather, memperkirakan kerugian akibat badai ini akan menelan biaya antara US$95 miliar dan US$110 miliar.
Studi terbaru mengungkapkan awan debu besar dari Sahara yang menyelimuti Eropa pada Maret 2022 mengandung bahan kimia yang konsisten dengan uji nuklir.
Setelah siklon ekstratropis membawa hujan lebat ke Afrika Utara pada awal September, sejumlah danau sementara telah muncul di Sahara.
Banjir dan limpasan tersebut mengisi beberapa danau di Sahara, termasuk Sebkha el Melah di Aljazair dan beberapa danau yang tersebar di sekitar Erg Chebbi, Maroko.
Lokasinya juga mencakup beberapa negara, termasuk Aljazair, Chad, Mesir, Libya, Mali, Mauritania, Niger, Sudan, dan Tunisia. Suhu di Gurun Sahara bisa sangat ekstrem
SAHARA adalah gurun panas yang membentang sepanjang Afrika Utara. Panjangnya sekitar 3.000 mil dan membentang dari Laut Merah di timur hingga Samudra Atlantik di barat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved