Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Paus Buka Pertemuan Vatikan di Tengah Ketegangan dengan Kaum Konservatif

Ferdian Ananda Majni
04/10/2023 22:04
Paus Buka Pertemuan Vatikan di Tengah Ketegangan dengan Kaum Konservatif
Pertemuan Sinode Vatikan(AFP)

PAUS Fransiskus membuka pertemuan puncak para uskup mengenai masa depan Gereja Katolik, termasuk keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan dan sikapnya terhadap kelompok LGBT.

Namun demikian, kaum konservatif memperingatkan bahwa doktrin gereja mengenai segala hal, mulai dari homoseksualitas hingga otoritas hirarki, berada dalam bahaya.

Mengawali pertemuan sejak tanggal 4-28 Oktober itu, Paus Fransiskus memimpin misa yang khidmat di Lapangan Santo Petrus pada hari Rabu (4/10) secara resmi. Ratusan rohaniwan dari seluruh dunia merayakannya di hadapan umat awam Katolik.

Baca juga : Paus: Turunkan Senjata di Karabakh, Cari Solusi Damai Demi Kemanusiaan

Kehadiran dan pengaruhnya dalam pertemuan ini menandai pergeseran yang menentukan bagi Gereja Katolik.

Baca juga : Dunia Berada di Ujung Perang Nuklir, Paus Serukan Perdamaian Abadi

Pertemuan tertutup selama tiga minggu, yang dikenal sebagai sinode kemungkinan besar akan kembali mengungkap perpecahan mendalam antara kelompok progresif dan konservatif di dalam Gereja Fransiskus.

Sinode ini tidak akan membuat keputusan yang mengikat dan hanya merupakan sesi pertama dari proses dua tahun.

Bahkan sebelum dimulai, pertemuan ini sudah bersejarah karena Fransiskus memutuskan untuk mengizinkan perempuan dan umat awam untuk memberikan suara bersama dengan para uskup dalam dokumen akhir yang dihasilkan.

Meskipun kurang dari seperempat dari 365 anggota yang memberikan suara adalah non uskup, reformasi ini merupakan pergeseran radikal dari Sinode Uskup yang berfokus pada hirarki dan bukti keyakinan Fransiskus bahwa gereja lebih tentang jemaat daripada gembalanya.

"Ini adalah momen penting," kata JoAnn Lopez, seorang pelayan awam kelahiran India yang membantu mengorganisir konsultasi selama dua tahun sebelum pertemuan di paroki-paroki tempat ia bekerja di Seattle dan Toronto.

"Ini adalah pertama kalinya perempuan memiliki suara yang sangat berbeda secara kualitatif di meja perundingan, dan kesempatan untuk memberikan suara dalam pengambilan keputusan sangat besar,” sebutnya.

Dalam agenda tersebut terdapat seruan mengambil langkah-langkah konkret untuk mengangkat lebih banyak perempuan ke dalam peran-peran pengambilan keputusan di gereja, termasuk sebagai diaken, agar umat Katolik memiliki lebih banyak suara dalam tata kelola gereja.

Juga sedang dipertimbangkan cara-cara untuk menyambut umat Katolik LGBTQ dan kelompok-kelompok lain yang selama ini terpinggirkan oleh gereja, serta langkah-langkah akuntabilitas baru untuk memeriksa bagaimana para uskup menggunakan wewenang mereka untuk mencegah pelanggaran.

Sementara, para wanita telah lama mengeluh bahwa mereka diperlakukan sebagai warga negara kelas dua di gereja, dilarang menjadi imam dan memegang kekuasaan tertinggi, namun bertanggung jawab atas sebagian besar pekerjaan gereja, seperti mengajar di sekolah-sekolah Katolik, mengelola rumah sakit Katolik, dan mewariskan iman kepada generasi berikutnya.

Mereka telah lama menuntut suara yang lebih besar dalam tata kelola gereja, setidaknya dengan hak suara pada sinode periodik di Vatikan, tetapi juga hak untuk berkhotbah pada misa dan ditahbiskan sebagai imam atau diaken.

Meskipun mereka telah mendapatkan beberapa posisi penting di Vatikan dan gereja-gereja lokal di seluruh dunia, hirarki laki-laki masih tetap berkuasa.

Lopez, 34, dan para wanita lainnya sangat bersemangat tentang potensi sinode yang mungkin dengan cara tertentu akan mengizinkan wanita ditahbiskan sebagai diaken, sebuah pelayanan yang saat ini hanya terbatas pada pria.

Potensi bahwa proses sinode ini dapat menghasilkan perubahan nyata pada topik-topik yang sebelumnya tabu telah memberikan harapan bagi banyak perempuan dan umat Katolik progresif dan memicu kekhawatiran dari kaum konservatif yang telah memperingatkan bahwa hal itu dapat menyebabkan perpecahan.

Pada Senin, lima kardinal konservatif secara terbuka meminta Paus Fransiskus untuk menegaskan kembali doktrin Katolik tentang perlakuan terhadap pasangan gay dan penahbisan perempuan. Mereka mengirimkan lima pertanyaan formal yang dikenal sebagai “dubia” atau keraguan.

Disertai dengan surat terbuka kepada para pengikutnya yang memperingatkan risiko "kebingungan" dan "kesalahan", di tengah kritik bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan melalui proses sinode tersebut dapat mengasingkan banyak umat Katolik.

Fransiskus menjawab pertanyaan para kardinal, namun mereka tidak puas dengan tanggapannya. Dalam salah satu pesannya, Paus mengisyaratkan kemungkinan mengizinkan para imam untuk memberkati pasangan sesama jenis berdasarkan kasus per kasus. Sesuatu yang tidak diakui oleh Tahta Suci tetapi dipraktikkan di negara-negara termasuk Jerman dan Belgia.

Meskipun bersikeras bahwa gereja hanya mengakui pernikahan antara seorang pria dan seorang wanita, paus mengatakan bahwa "kita tidak bisa menjadi hakim yang hanya menyangkal, menolak, dan mengucilkan,".

"Kehati-hatian pastoral harus secara memadai melihat apakah ada bentuk pemberkatan, yang diminta oleh satu orang atau lebih, yang tidak menyampaikan konsep pernikahan yang salah," tulisnya.

Sesi kedua sidang dijadwalkan pada Oktober 2024, yang berarti tidak ada keputusan konkret yang diharapkan dalam waktu dekat. (aljazeera/Z-8)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putra Ananda
Berita Lainnya