Indonesia Diharapkan Mampu Ajak Tiongkok Semai Perdamaian di Laut China Selatan

Cahya Mulyana
27/7/2023 21:52
Indonesia Diharapkan Mampu Ajak Tiongkok Semai Perdamaian di Laut China Selatan
Ilustrasi Laut Cina Selatan(AFP)

DOSEN Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Kholifatus Saadah menilai Indonesia perlu menghindari konflik di Laut China Selatan (LCS). Kawasan ini berpotensi menimbulkan gesekan kuat antara negara-negara yang memiliki kepentingan dan klaim teritori.

"Indonesia sebagai negara dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif, sudah seharusnya berada di posisi yang tidak memihak siapapun, begitu juga pada konflik LCS ini," ujarnya kepada Media Indonesia, Kamis (27/7).

Menurut dia, dinamika LCS ini sudah terjadi cukup lama di kawasan Asia Tenggara, sudah seharusnya ASEAN sebagai organisasi regional di kawasan terdampak langsung, terlebih terhadap pilar-pilar komunitas ASEAN.

 Baca juga : Jokowi Perlu Bujuk Tiongkok Sepakati CoC

Indonesia sebagai chairman ASEAN tahun ini diharapkan dapat memastikan pilar-pilar komunitas ASEAN terus berjalan sebagaimana mestinya. Terutama pilar ASEAN political security community, lebih tepatnya pada poin ketiga yaitu A Dynamic and Outward-looking Region in An Increasingly Integrated and Interdependent World.

Baca juga : Presiden Jokowi dan Iriana Tiba di Chengdu, Tiongkok

Hubungan ASEAN dengan negara luar kawasan harus dipastikan tetap sesuai dengan prinsip-prinsip ASEAN sejak awal, untuk memastikan negara-negara anggota ASEAN hidup di suasana yang damai dan stabil.

Ke depan dengan adanya Pedoman Tata Perilaku (Code of Conduct/CoC) di LCS sudah semestinya menjadi rujukan. Pasalnya kekuatan legal CoC yang bisa menjadi dasar bagi negara-negara di Asia Tenggara untuk tetap berada pada prinsip ASEAN yakni hidup dalam keharmonisan, demokratis dan perdamaian.

Untuk meminta satu negara menyudahi konflik bukan hal yang mudah, kata Saadah. Sebagai negara berdaulat dan memiliki peran sentral di ASEAN, Indonesia bisa memberikan akomodasi dari banyaknya kepentingan-kepentingan yang ada di LCS.

"Diplomasi dan negosiasi tentu menjadi kunci dalam proses ini. Pekerjaan berat bagi Indonesia terutama sebagai chairman ASEAN 2023 tentu adalah memastikan kondisi harmonis di kawasan terus terjaga," pungkasnya.

Sebelumnya ASEAN dan Tiongkok telah menyepakati pedoman untuk mempercepat negosiasi CoC di LCS. Pedoman tersebut diadopsi dalam Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN dan Direktur Komite Urusan Luar Negeri Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok Wang Yi di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dan Wang Yi bersama-sama memimpin pertemuan tersebut. Dalam sambutan pembukaannya, Retno menyatakan bahwa Tiongkok telah menjadi mitra penting ASEAN dalam menjaga perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di kawasan Indo-Pasifik selama lebih dari tiga dekade.

“Kemitraan kita semakin penting di tengah tantangan yang semakin besar,” ujar Retno.

Tahun ini dianggap sebagai tonggak penting dalam hubungan ASEAN-Tiongkok, yang ditandai dengan penyelesaian pedoman untuk mempercepat perundingan CoC yang efektif dan substantif, penyelesaian pembacaan kedua draf perundingan CoC tunggal, dan peringatan 20 tahun aksesi Tiongkok ke Traktat Persahabatan dan Kerja Sama (TAC).

“Pencapaian tersebut harus terus dibangun momentum positif untuk memperkuat kemitraan yang memajukan paradigma inklusivitas dan keterbukaan, menghormati hukum internasional termasuk UNCLOS 1982, serta mendorong kebiasaan dialog dan kolaborasi,” ujar Retno.

Lebih lanjut, dia menegaskan bahwa Tiongkok harus menjadi mitra yang bisa diandalkan bagi ASEAN dalam memelihara arsitektur kawasan yang terbuka dan inklusif.

“Hanya dengan begitu kita dapat mencapai kerja sama yang saling menguntungkan demi perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran bersama di Indo-Pasifik,” kata Retno.

Retno juga meminta dukungan Tiongkok untuk implementasi konkret Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik (AOIP), termasuk rencana penyelenggaraan Forum ASEAN Indo-Pasifik (AIPF) pada September mendatang.

Selaku ketua tahun ini, Menlu RI membacakan pernyataan bersama ASEAN yang menyoroti beberapa aspek, di antaranya pentingnya kepatuhan terhadap TAC, penerapan pedoman untuk mempercepat perundingan CoC, dukungan untuk penerapan AOIP, kerja sama ekonomi, penguatan ketahanan kesehatan, serta hubungan antar-masyarakat.

Sementara itu, Tiongkok menyatakan dukungannya terhadap TAC dan sentralitas ASEAN dalam mengembangkan arsitektur kawasan yang inklusif. Tiongkok juga mengangkat beberapa bidang kerja sama prioritas, seperti pertanian, pengembangan kendaraan listrik, ekonomi biru, dan hubungan antar-masyarakat.

Pertemuan tersebut mendorong peningkatan kerja sama ekonomi ASEAN-Tiongkok, termasuk penyelesaian negosiasi Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) 3.0, untuk memperkuat hubungan perdagangan dan rantai pasokan regional.

Pertemuan juga menekankan pentingnya revitalisasi konektivitas pascapandemi, termasuk realisasi komitmen Tiongkok dalam pembangunan infrastruktur kawasan.

Selain itu, pertemuan tersebut juga mendesak kerja sama dalam mengatasi perubahan iklim, termasuk memastikan ketahanan pangan regional, mengembangkan energi baru dan terbarukan, serta menyambut baik kemajuan dalam proses negosiasi terkait LCS.

Secara ekonomi, Tiongkok merupakan mitra dagang terbesar ASEAN, begitu pula sebaliknya, dengan perdagangan kedua pihak mencapai 975 miliar dolar AS (sekitar Rp14.590,9 triliun).

Tiongkok juga merupakan sumber investasi asing langsung terbesar keempat di ASEAN, dengan nilai 13,8 miliar dolar AS (sekitar Rp206,5 triliun) pada 2021. (Z-8)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putra Ananda
Berita Lainnya