Headline
KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.
KONFERENSI Tingkat Tinggi (KTT) iklim COP27 di Mesir belum memberikan kontribusi besar bagi perubahan iklim. Negara-negara penghasil emisi karbon rendah fokus meminta dana kompensasi kepada negara-negara kaya.
Sementara mengenai penurunan emisi melalui pengurangan konsumsi bahan bakar fosil diabaikan.
Sebanyak 200 negara yang mengikuti gelaran ini hanya terpaku pada untung-rugi atas perubahan iklim, sementara usaha nyata untuk menekan penyebabnya dilupakan.
"Kita harus cepat di sini sekarang, tetapi tidak cepat menuju hasil yang buruk. Tidak cepat dalam hal menerima sesuatu yang kemudian kita sesali selama bertahun-tahun," kata Menteri Lingkungan Irlandia, Eamon Ryan.
Kepala Kebijakan Iklim Uni Eropa, Frans Timmermans, mengatakan para menteri dari blok regional tersebut telah siap untuk mengundurkan diri dari KTT. "Kami lebih suka tidak memiliki keputusan daripada keputusan yang buruk," katanya.
Baca juga: COP-27 Mesir, BPDLH Berbagi Best Practices Pengelolaan Dana Iklim
Hasil dari KTT selama dua minggu di Kota Sharm el-Sheikh adalah ujian tekad dunia untuk melawan pemanasan global, bahkan saat perang di Eropa dan inflasi konsumen yang merajalela mengalihkan perhatian internasional.
Rancangan perjanjian COP27 yang dirilis pada Sabtu (19/11), menegaskan kembali komitmen beberapa waktu lalu untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius untuk mencegah perubahan iklim terburuk.
Namun forum itu gagal menawarkan upaya konkret soal pengurangan emisi yang diperlukan untuk mencapai menghentikan perubahan iklim.
Para peserta KTT ini hanya sibuk dalam tawar-menawar yang terpecah antara negara-negara kaya dan berkembang soal dana kerugian untuk mengatasi kerusakan oleh iklim.
Negara-negara kaya, termasuk Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa, selama beberapa dekade menolak gagasan tentang apa yang disebut dana itu. Alasannya dana itu akan ditanggung mereka berdasarkan besaran emisi gas rumah kaca.
"Kami puas bahwa setidaknya ada sesuatu di piring sekarang," kata Kepala Negosiator dari Pakistan untuk kelompok negara berkembang G77, Nabeel Munir.
Negosiator dari Barbados, Avinash Persaud menyebut proposal itu sebagai kemenangan kecil bagi umat manusia yang dihasilkan dari kepemimpinan negara-negara kecil dan solidaritas pihak yang menekan pemanasan global.
“Sekarang kita perlu melipatgandakan upaya di balik transisi energi, transportasi, dan pertanian yang akan membatasi kerugian dan kerusakan iklim ini di masa depan,” kata Persaud.
Tiongkok dan Amerika Serikat (AS), dua penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, sejauh ini tidak menyetujui proposal tersebut.
Uni Eropa telah mendorong diskusi di awal minggu dengan menawarkan untuk mendukung dana kerugian dan kerusakan, asalkan Tiongkok melakukannya.
Draf perjanjian COP27 yang dirilis oleh kantor iklim PBB tidak menyertakan masukan India dan Uni Eropa soal penghentian penggunaan semua bahan bakar fosil. (AFP/Cah/OL-09)
PEMERINTAH Israel menegaskan kembali bahwa setiap kesepakatan gencatan senjata di Jalur Gaza, Palestina, harus mencakup pembebasan seluruh sandera.
Qatar dan Mesir telah menerima persetujuan Hamas atas usulan gencatan senjata di Jalur Gaza.
MENTERI Luar Negeri Mesir Badr Abdelatty pada Senin (18/8) menegaskan penolakannya terhadap pernyataan resmi Israel terkait konsep Israel Raya
Menlu Mesir Badr Abdelatty menolak ide pemindahan warga Gaza. Ia menegaskan pengusiran massal Palestina adalah garis merah.
Baznas salurkan bantuan kepada keluarga pengungsi Palestina di Mesir.
MENTERI Luar Negeri Mesir, Badr Abdelatty, mengatakan pihaknya telah menyiapkan daftar personel polisi Palestina yang akan menjalani pelatihan di Mesir dan Yordania.
Penelitian terbaru mencatat lebih dari 5.000 mamalia laut terdampar di pesisir Skotlandia sejak 1992.
Studi terbaru di jurnal One Earth mengungkap 60% wilayah daratan Bumi kini berisiko, dengan 38% menghadapi risiko tinggi.
Banjir monsun telah menyapu bersih seluruh desa, memicu tanah longsor, dan menyebabkan banyak orang hilang.
Studi terbaru mengungkap populasi burung tropis turun hingga 38% sejak 1950 akibat panas ekstrem dan pemanasan global.
Dengan cara mengurangi emisi gas rumah kaca, beradaptasi perubahan iklim, dan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Perubahan iklim ditandai dengan naiknya suhu rata-rata, pola hujan tidak menentu, serta kelembaban tinggi memicu ledakan populasi hama seperti Helopeltis spp (serangga penghisap/kepik)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved