Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Jutaan Warga di Myanmar Kesulitan Beli Makanan

Atikah Ishmah Winahyu
28/5/2021 13:58
Jutaan Warga di Myanmar Kesulitan Beli Makanan
Warga di salah satu wilayah di Myanmar(AFP)

AYE Mar duduk bersama tujuh anaknya di dapur mereka, di Yangon. Mereka khawatir apakah makanan yang terdiri dari nasi dan sayuran akan memuaskan rasa lapar.

Ekonomi dan sistem perbankan nasional telah lumpuh sejak perebutan kekuasaan militer yang mendorong pemimpin sipil Aung San Suu Kyi lengser pada Februari lalu.

Mata pencaharian telah hilang setelah pemogokan dan penutupan pabrik, harga bahan bakar melonjak dan mereka yang cukup beruntung memiliki tabungan bank harus mengantre sepanjang hari untuk menarik uang tunai.

Bertualang di tempat umum untuk mencari nafkah juga mengancam keselamatan dengan latar belakang tindakan keras tanpa pandang bulu dan brutal oleh pasukan keamanan terhadap perbedaan pendapat yang telah menewaskan lebih dari 800 warga sipil.

Di negara yang pada waktu normal mengekspor beras, kacang-kacangan, dan buah-buahan itu, jutaan warga akan kelaparan dalam beberapa bulan mendatang. Hal ini diperingatkan oleh Program Pangan Dunia (WFP).

"Kami harus memberi makan anak-anak kami agar mereka tidak kelaparan," kata Aye Mar, duduk tanpa alas kaki di ibu kota komersial, seorang bayi berayun di tempat tidur gantung di atas kepala.

Wanita berusia 33 tahun itu tidak bekerja, bersama suaminya yang dipaksa untuk mengambil pekerjaan serabutan yang ditawarkan, termasuk menggali septic tank.

Baca juga: Utusan PBB Tetap Berharap Bisa Kunjungi Myanmar

Penjual makanan, Wah Wah, 37, mengatakan akibat kenaikan harga sejak kudeta membuat pelanggan tidak bisa lagi membeli sesuatu yang sederhana seperti semangkuk ikan kering.

"Saya tidak bisa menjualnya karena pelanggan tidak mampu membelinya, bahkan jika saya menjualnya dengan harga 500 kyat per mangkuk," katanya.

"Setiap orang harus mengeluarkan uang dengan hati-hati agar aman karena tidak ada yang punya pekerjaan. Kami hidup dalam ketakutan karena tidak tahu apa yang akan terjadi,” imbuhnya.

Ayah tiga anak, Win Naing Tun, 26, mengatakan mereka yang sebelumnya mampu makan daging babi secara teratur terpaksa beralih ke pasta ikan dan sayuran.

“Mereka yang bertahan dengan diet terbatas itu sebelumnya, sekarang hanya mampu makan nasi putih dengan garam,” ungkapnya.

Kenaikan harga telah menghantam daerah terpencil dengan sangat keras. Di dekat perbatasan Tiongkok di negara bagian Kachin, beras hampir 50% lebih mahal, menurut WFP.

Biaya pengangkutan produk dari pertanian ke kota-kota juga melonjak setelah kenaikan harga bahan bakar diperkirakan 30% sejak kudeta.

WFP memperkirakan dalam enam bulan ke depan, sebanyak 3,4 juta lebih orang akan kelaparan di Myanmar dan siap untuk melipatgandakan bantuan makanan daruratnya. Program donasi makanan masyarakat akar rumput terbukti sangat diminati di Yangon, ibu kota komersial Myanmar.

"Mereka senang saat kami menyumbangkan makanan. Beberapa bahkan menangis," kata sukarelawan May, bukan nama sebenarnya.

Ni Aye, 51, mengatakan, dia dan suaminya sekarang tidak memiliki penghasilan sama sekali dan bergantung pada makanan yang mereka makan.

"Kami dalam masalah. Jika kondisi ini terus berlanjut, kami akan kelaparan," katanya.

Aung Kyaw Moe, 47, sedang mempertimbangkan untuk kembali ke desa asalnya setelah pabrik di Yangon, tempatnya bekerja, ditutup.

Dia mengatakan tidak memiliki simpanan uang dan putus asa tentang bagaimana menghidupi keluarganya yang terdiri dari sembilan orang, yang secara ilegal bersamanya di ibu kota komersial.

"Semuanya di luar kendali kami," ujarnya.(Straitstimes/OL-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya