Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
DI era digital saat ini, media sosial telah menjadi platform populer bagi remaja untuk berekspresi, berinteraksi, dan bahkan berkarya, salah satunya melalui fitur siaran langsung (live streaming).
Namun, di balik kemudahan dan popularitasnya, tersembunyi bahaya serius yang mengintai, yaitu grooming. Fenomena ini semakin marak menyasar remaja yang aktif melakukan live streaming, memanfaatkan kerentanan dan keinginan mereka akan pengakuan atau popularitas.
Grooming adalah tindakan sistematis yang dilakukan pelaku (groomer) untuk membangun hubungan, kepercayaan, dan kendali atas korban dengan tujuan eksploitasi, sering kali seksual.
Proses ini tidak terjadi secara instan, melainkan melalui serangkaian tahapan manipulatif yang dirancang untuk mengisolasi korban dan membuatnya merasa bergantung pada pelaku.
Bagi remaja yang rutin melakukan live streaming, mereka menjadi target empuk karena beberapa alasan yang menjadikan mereka sangat rentan:
1. Visibilitas Tinggi dan Aksesibilitas
Konten live streaming membuat remaja sangat terlihat oleh siapa pun di dunia maya, termasuk para groomer yang secara aktif mencari korban potensial.
Fitur interaktif seperti komentar dan pesan langsung memungkinkan pelaku untuk mendekati dan mengamati target mereka dengan mudah, mempelajari minat, kebiasaan, dan bahkan kerentanan emosional remaja.
2. Interaksi Langsung dan Ilusi Kedekatan
Fitur komentar dan pesan pribadi saat live memungkinkan groomer untuk berinteraksi langsung, membangun koneksi personal yang terasa otentik, dan melancarkan bujuk rayu.
Mereka sering kali menjadi "penggemar" paling setia, memberikan perhatian yang mungkin tidak didapatkan remaja di dunia nyata.
3. Keinginan Mendapatkan Perhatian dan Validasi
Remaja pada umumnya sedang dalam tahap pencarian identitas dan seringkali haus akan perhatian, validasi, dan pujian dari lingkungan sosialnya.
Groomer memanfaatkan ini dengan memberikan komentar positif yang berlebihan, hadiah virtual yang mahal, atau bahkan janji-janji palsu tentang ketenaran, karier, atau dukungan finansial. Ini menciptakan ketergantungan emosional yang kuat.
4. Informasi Pribadi Tanpa Sadar dan Eksploitasi Data
Terkadang, tanpa disadari, remaja bisa membocorkan informasi pribadi atau rutinitas mereka saat live streaming, seperti lokasi, sekolah, atau jadwal kegiatan.
Informasi ini dapat digunakan groomer untuk mendekat, melacak, atau bahkan mengancam korban di kemudian hari, memperburuk situasi dan membuat korban merasa terjebak.
Pelaku grooming dapat berasal dari berbagai latar belakang dan tidak terbatas pada jenis kelamin atau orientasi seksual tertentu. Mereka bisa berupa pria dengan perilaku LGBT yang menyasar remaja pria, atau pria mapan yang menargetkan remaja putri.
Modus operandi mereka seringkali dimulai dengan cara halus namun manipulatif, yang dirancang untuk membangun kepercayaan dan mengikis batasan korban:
Pemberian Hadiah dan Pujian Berlebihan
Pelaku kerap memulai dengan memberikan "gift" mahal atau hadiah-hadiah lain di platform live streaming. Ini adalah cara untuk menarik perhatian dan membangun kesan positif, seolah-olah mereka adalah "malaikat" pelindung atau penggemar setia.
Taktik ini memanfaatkan prinsip resiprositas dalam psikologi pengaruh, di mana korban merasa berhutang budi atau perlu membalas kebaikan yang diterima.
Komunikasi Privat dan Pembangunan Hubungan Eksklusif
Setelah membangun koneksi awal di ranah publik, pelaku akan mencoba mengarahkan komunikasi ke ranah yang lebih pribadi, seperti aplikasi chat atau pesan langsung. Di sini, manipulasi psikologis dan bujuk rayu intensif sering terjadi.
Mereka mungkin mengaku sebagai satu-satunya orang yang benar-benar memahami korban, menciptakan ilusi kedekatan dan eksklusivitas yang mengisolasi korban dari dukungan sosial lainnya. Ini selaras dengan prinsip kesukaan (liking), di mana pelaku berusaha membuat diri mereka disukai dan dipercaya.
Manipulasi Emosional dan Pengujian Batasan
Pelaku secara bertahap akan menguji batasan korban, mulai dari permintaan kecil yang tidak berbahaya hingga permintaan yang semakin intim.
Mereka mungkin menggunakan taktik gaslighting, menyalahkan korban, atau mengancam diri sendiri jika korban menolak. Ini adalah bagian dari proses mengendalikan korban secara emosional.
Pertemuan Langsung dan Eskalasi Eksploitasi
Tahap paling berbahaya adalah ketika pelaku berhasil mendatangi langsung korban di lingkungan tempat tinggalnya, sering kali dengan dalih ingin memberikan hadiah lebih besar, "membantu" korban, atau bahkan menjanjikan peluang besar.
Hal ini menunjukkan tingkat perencanaan dan keseriusan pelaku untuk melakukan eksploitasi fisik atau seksual.
UNICEF Indonesia (Mei 2022) mengungkapkan bahwa hingga 56% insiden eksploitasi seksual dan perlakuan yang salah terhadap anak Indonesia di dunia maya tidak diungkap dan dilaporkan.
Angka ini menunjukkan betapa besarnya gunung es kasus grooming yang tidak terdeteksi, seringkali karena korban merasa takut, malu, atau tidak tahu harus melapor ke mana.
Survei ini juga mencatat bahwa sejumlah anak di Indonesia pernah mengalami eksploitasi seksual dan perlakuan yang salah di dunia maya dalam setahun terakhir, dan ada anak yang pernah mengirim informasi pribadi ke seseorang yang belum pernah mereka temui secara langsung.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 859 kasus child grooming di Indonesia pada tahun 2021, menandakan bahwa pelecehan seksual secara daring, termasuk grooming, adalah masalah genting yang memerlukan penanganan serius dari seluruh elemen masyarakat.
Komnas Perempuan (Catatan Tahunan 2023) menunjukkan 1.272 kasus kekerasan siber berbasis gender (KSBG), di mana kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) mencapai 991 kasus, seringkali beririsan dengan modus grooming.
Data KemenPPPA yang diolah Metro TV (Mei 2023) menunjukkan bahwa dari total 9.645 kasus kekerasan terhadap anak yang tercatat, 1.832 korban adalah laki-laki. Ini mengindikasikan bahwa anak laki-laki juga menjadi korban yang signifikan dalam kasus kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
IJRS (Indonesia Judicial Research Society) dalam "Data dan Fakta Kekerasan Seksual di Indonesia 2021" mencatat bahwa 1 dari 17 anak laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual. Lebih lanjut, 66,7% laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual dalam berbagai bentuk, baik verbal, fisik, pemaksaan melihat konten porno, maupun intimidasi/ancaman aktivitas seksual.
Studi dari Inggris juga menunjukkan hampir 3% pria dewasa mengaku pernah mengalami pengalaman seksual non-konsensual, dan lebih dari 5% pria mengalami kejahatan seksual semasa kanak-kanak.
Melindungi remaja dari bahaya grooming adalah tanggung jawab bersama. Karenanya, seluruh orangtua, pendidik, platform media sosial, dan masyarakat diimabu untuk meningkatkan kewaspadaan dan pemahaman tentang bahaya grooming di media sosial.
Beberapa langkah pencegahan yang bisa dilakukan:
Edukasi Dini dan Komprehensif
Berikan pemahaman kepada remaja tentang risiko dan bahaya berinteraksi dengan orang asing di internet. Ajarkan mereka tentang konsep batasan pribadi, privasi online, dan tanda-tanda peringatan dari perilaku grooming.
Edukasi ini harus dilakukan secara berkelanjutan dan disesuaikan dengan usia serta tingkat pemahaman remaja.
Pengawasan Aktif dan Terbuka
Pantau aktivitas media sosial anak tanpa mengganggu privasi mereka secara berlebihan. Ajak mereka untuk berbagi pengalaman atau kekhawatiran yang mungkin mereka alami di dunia maya.
Bangun kepercayaan sehingga mereka merasa nyaman untuk bercerita jika ada hal yang mencurigakan atau mengganggu.
Laporkan Indikasi Grooming
Jika menemukan indikasi grooming, jangan ragu untuk segera melaporkan ke pihak berwenang melalui layanan SAPA 129 (hotline 129 atau Whatsapp 08-111-129-129).
Selain itu, laporkan juga ke platform media sosial terkait agar akun pelaku dapat ditindak dan dicegah menyebarkan bahaya lebih lanjut.
Bangun Komunikasi Terbuka dan Dukungan Emosional
Ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman di rumah dan sekolah agar remaja berani bercerita jika ada hal yang mencurigakan atau mengganggu mereka di media sosial.
Berikan dukungan emosional tanpa menghakimi, dan pastikan mereka tahu bahwa ada orang dewasa yang dapat dipercaya untuk membantu mereka.
Literasi Digital dan Kritis
Dorong remaja untuk mengembangkan kemampuan literasi digital yang kuat, termasuk kemampuan berpikir kritis terhadap informasi yang mereka terima online, mengenali akun palsu, dan memahami risiko berbagi informasi pribadi. (Z-1)
TAWUR ialah fenomena kekerasan yang belakangan ini banyak berkembang di kalangan kelompok remaja yang berasal dari sekolah dan wilayah yang berbeda.
Ketua Pengurus Surau Gadang Darus Salikin, Defri menekankan pentingnya mengenalkan Tahun Baru Islam sebagai identitas dan budaya umat Muslim.
Polsek Jatinegara masih menyelidiki lebih lanjut terkait keterlibatan atau peran korban meninggal dalam tawur tersebut.
Mahkamah Agung AS menyetujui undang-undang yang melarang penggunaan penghambat pubertas dan terapi hormon bagi remaja transgender.
Patroli akan terus digelar secara rutin, sebagai bentuk kehadiran polisi untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat.
Menurutnya, penggerebekan pesta gay itu dilakukan pada Minggu (22/6) sekira pukul 00:30 WIB atas laporan warga setempat yang curiga dengan kegitan tersebut.
DEPARTEMEN Luar Negeri Amerika Serikat meminta kepada para pemohon visa pelajar dan peserta pertukaran dalam kategori visa nonimigran F, M, dan J membuka akses media sosial.
SEORANG model dan talent asal Jakarta, Rafika Aulia Putri, menjadi korban pencemaran nama baik dan fitnah yang diduga dilakukan oleh Eha Adistia Suri.
Status laporannya sudah naik ke tahap penyidikan. Minggu lalu, ia pun hadir di Polda Metro Jaya untuk memberikan keterangan sebagai pelapor.
Pemerintah AS mewajibkan calon mahasiswa asing untuk membuka akun media sosial mereka secara publik.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved