Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
MEMPERINGATI Hari Lahan Basah Internasional (International Wetlands Day) pada 2 Februari 2025, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto diharapkan lebih berhati-hati dalam mengembangkan food estate menuju cita-cita swasembada pangan. Jangan sampai mengulang kesalahan proyek sejenis di masa lalu yang merugikan masyarakat lokal, sosial, dan lingkungan. Bukan hanya gagal mencapai kedaulatan pangan, tetapi proyek pengembangan lahan gambut massal justru menciptakan kerusakan ekologis yang luas.
Berdasarkan studi Kementerian Pertanian, terdapat potensi lahan gambut dangkal atau tipis untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian. Potensi ini mencapai sekitar sepertiga dari total luas lahan gambut Indonesia yang berjumlah lebih dari 20 juta hektare—terluas di Asia Tenggara dan hampir separuh dari total lahan gambut dunia.
Namun, Koordinator Nasional Pantau Gambut, Iola Abas, mengingatkan bahwa penggunaan lahan untuk pertanian hanya boleh dilakukan pada lahan gambut dangkal (<1 meter) yang telah dibudidayakan sebelumnya atau lahan terlantar. Itu pun harus dilakukan dengan cermat menggunakan teknologi pengelolaan air serta menyesuaikan karakteristik gambut dan jenis tanaman.
“Kalau tidak bisa mengelola dan tidak melibatkan ahlinya, maka lahan gambut jangan dibuka sama sekali. Jangan serampangan diubah menjadi lahan pertanian, apalagi lahan gambut lindung yang berfungsi sebagai penyangga ekosistem dan cadangan air,” tegasnya dalam keterangan resmi, Minggu (2/2).
Pantau Gambut telah melakukan studi pemantauan pada 30 titik lokasi area pengembangan proyek food estate selama periode 2020–2023 di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Area tersebut merupakan bekas lahan proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektare pada akhir masa pemerintahan Presiden Soeharto. Penelitian difokuskan di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah.
Metode pemantauan yang digunakan meliputi analisis kehilangan tutupan pohon, kebakaran hutan dan lahan, serta kesesuaian lahan untuk budidaya padi. Data yang digunakan berasal dari peta kerja proyek, citra satelit, dan pengujian tanah terkait kesuburan serta keasaman lahan gambut. Menurut Iola, hasil studi tahun 2024 mengungkapkan bahwa kondisi lahan gambut yang telah dibuka hampir seluruhnya tidak sesuai untuk budidaya padi.
“Dari tiga blok eks-PLG Kalimantan Tengah dengan total luas 243.216 hektare, hanya 1% yang cocok untuk pertanian, sementara sisanya memiliki kesesuaian sedang hingga rendah. Lahan yang sudah dibuka sebagian besar ditinggalkan, dan sebagian lainnya telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit yang dikuasai oleh pihak swasta,” tegas Iola.
Iola menekankan bahwa pemerintah harus mengutamakan pendekatan swasembada pangan berbasis lokal yang lebih sesuai dengan kondisi lahan gambut—belum tentu padi—dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai subjek utama pengelolaan lahan tersebut, bukan korporasi.
Menurut Peneliti Gambut Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Azwar Maas, gambut yang masih utuh sebaiknya tidak diganggu, terutama gambut yang berkubah. Kubah gambut merupakan sumber air yang sangat penting bagi kesehatan tanah di sekitarnya, terutama saat musim kemarau.
Jika kubah gambut dibuat saluran drainase atau kanalisasi, maka tidak akan ada lagi cadangan air. Akibatnya, gambut yang secara alami menyukai air akan kehilangan kemampuannya menyerap air dan menjadi mudah terbakar. Tanaman yang memerlukan air pun tidak dapat tumbuh dengan baik dan berproduksi secara optimal.
“Lahan gambut di Merauke, Papua, yang digunakan sebagai food estate adalah bekas rawa lama yang mengalami pengangkatan. Tandanya, ada banyak karat besi di permukaan, sama seperti di Lampung. Namun, lahan gambut di Lampung sudah lebih dari 100 tahun dimanfaatkan, sementara di Merauke baru dibuka, sehingga masih banyak yang harus dilakukan,” kata Azwar.
Untuk membangun food estate di lahan gambut dalam skala besar, menurut Azwar, harus melibatkan perguruan tinggi dan menjalankan proses yang tidak sebentar. Ia menyoroti kegagalan sebuah perusahaan swasta di Papua dalam mengembangkan kelapa sawit, tebu, dan Hutan Tanaman Industri akibat kurangnya keterlibatan para ahli.
Proyek tersebut terlalu berfokus pada aspek teknis seperti rekayasa sipil dan mengabaikan pengetahuan tentang tanah. Jika lahan gambut sudah telanjur dibuka, restorasi tidak akan bisa mengembalikan kondisi ekosistem seperti semula.
Azwar menambahkan bahwa ada beberapa prasyarat untuk memperpanjang usia gambut. Yang paling utama adalah menjaga tinggi permukaan air gambut, tidak memberikan kapur untuk meningkatkan pH, dan tidak membiarkan gambut terbuka tanpa adanya tanaman penutup.
“Gambut harus memiliki cover crops, tumbuhan-tumbuhan rerumputan agar permukaannya tidak terbuka. Jika tidak ada tanaman penutup, gambut akan menjadi hydrophobic atau takut air. Ini yang menyebabkan gambut mengering dan rentan terbakar,” jelas Azwar.
Sebagai langkah perbaikan ke depan, Azwar menyarankan agar pemerintah Presiden Prabowo menata kembali berbagai peraturan perundangan terkait pelestarian dan pemanfaatan gambut. (H-2)
Kolaborasi antara IPB University dengan Kyoto University bertujuan meningkatkan peran masyarakat sebagai ujung tombak dalam penuntasan masalah gambut yang masih berkelindan di tanah air,
Buruknya perlakuan terhadap ekosistem gambut pun menyebabkan kerentanan terhadap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) ikut meningkat.
Delegasi Hakim Lingkungan Hidup Tiongkok mengunjungi Indonesia, audensi terkait ekosistem gambut dan mangrove, upaya rehabilitasi dan penanganan hukum dalam kasus perusakan hutan.
Juru Kampanye Pantau Gambut Abil Salsabila memaparkan sejumlah temuan terkait kondisi gambut di Tanah Air.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved