Tantangan Malnutrisi di Asia dan Dampaknya pada Ekonomi

Alya Putri Abi
09/1/2025 04:07
Tantangan Malnutrisi di Asia dan Dampaknya pada Ekonomi
Ilustrasi--Petugas mengukur berat badan balita saat pelaksanan Pos Pelayanan Terpadu (posyandu) di Kedaton, Bandar Lampung, Lampung, Senin (21/3/2022).(ANTARA/Ardiansyah)

ASIA masih menghadapi tantangan besar dalam mengatasi malnutrisi. Menjadikannya salah satu kawasan dengan dampak malnutrisi terparah di dunia.  

Masalah ini tidak hanya mempengaruhi kesehatan, tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomi yang memprihatinkan.

Malnutrisi adalah kondisi tubuh yang kekurangan atau kelebihan gizi, dam dapat memengaruhi kesehatan, pertumbuhan, dan kemampuan tubuh melawan penyakit.

Laporan FAO pada 2023 menyebutkan bahwa kawasan Asia-Pasifik memiliki 371 juta orang yang mengalami kekurangan gizi, setara dengan setengah dari total angka global. 

Masalah ini menjadi perhatian utama di sejumlah negara, seperti India, Bangladesh, Pakistan, Filipina, Indonesia, dan negara-negara Asia lainnya.

Data terbaru dari UNICEF, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan Bank Dunia menunjukkan bahwa 27,4% anak di bawah usia 5 tahun mengalami stunting, 8,2% mengalami wasting, dan 7,5% mengalami obesitas.

Dampak Ekonomi

Data dari Global Nutrition Report menujukan bahwa, secara global, biaya ekonomi tahunan akibat kekurangan gizi, diperkirakan melebihi US$761 miliar, atau setara dengan 0,9% dari pendapatan global. 

Direktur Regional Asia dari Nutrition International Manoj Kumar, menyatakan meskipun ekonomi Asia tumbuh pesat dalam dua tahun terakhir, manfaatnya belum merata, dan banyak populasi rentan yang belum merasakan dampak positifnya.

"Kami melihat Asia sebagai kawasan yang telah mencatatkan peningkatan ekonomi yang sangat baik dalam dua tahun terakhir. Pada 2023, pertumbuhan ekonomi Asia mencapai 5%, dan diperkirakan akan mencapai 4,5% pada 2024. Namun, meskipun ada peningkatan ekonomi, kami juga melihat adanya ketidakseimbangan yang lebih besar dalam distribusi manfaatnya, yang memengaruhi populasi yang paling rentan di Asia,” papar Manoj dalam Media Workshop yang dilaksanakan Nutrition Internasional, di Gedung Wirausaha, Rasuna Said Kav, Jakarta, Rabu (8/1)

Pengawasan Data

Untuk mengatasi masalah ini, salah satu pilar yang penting adalah pengawasan data. Mengingat kebutuhan, sebuah organisasi gizi internasional yang berpusat di Ottawa memperkenalkan alat analisis baru, yaitu Cost of Inaction Tool.

Alat ini tersedia gratis sebagai sumber daya publik untuk mengakses data real-time tentang malnutrisi di berbagai negara atau wilayah dengan mudah. Memberikan gambaran tentang dampak kesehatan, pengembangan sumber daya manusia, dan kerugian ekonomi yang muncul. 

Manoj Kumar menjelaskan sumber data yang digunakan berasal dari berbagai target yang dikombinasikan, mencakup berbagai aspek yang berbeda.  

“Jadi beberapa target ini merupakan kombinasi dari berbagai data yang berbeda. Kami bekerja sama dengan berbagai pihak. Data tersebut mencakup kehilangan produksi akibat masalah anak yang mengalami stunting atau kematian,” ujarnya

Country Director of Indonesia Nutrition Internasional Herrio Hattu menjelaskan rencana tentang pengembangan dan penyebaran Cost of Inaction Tool.

“Jadi, khususnya tentang Cost of Inaction Tool ini, salah satu rencana kami adalah, model investasi yang kami lakukan, yaitu Cost Benefit Analysis untuk pengukuran manfaat. Kami mencapai hasil bahwa dari perhitungan studi tersebut, rasio Cost Benefit adalah 1 berbanding 14,6. Jadi, dengan investasi 1 dolar, return-nya adalah 14,6 dolar,” ungkap Herrio. (Z-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya