Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Dorong Penerapan UU PKDRT pada Kasus Perkawinan Tidak Dicatatkan

Ihfa Firdausya
23/12/2024 17:44
Dorong Penerapan UU PKDRT pada Kasus Perkawinan Tidak Dicatatkan
Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah.(Dok. Antara)

PENANGANAN kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menemui banyak tantangan dan hambatan. Hal itu juga menjadi catatan terkait implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang sudah berjalan 20 tahun.

Salah satu catatan penting yang dilaporkan oleh Komnas Perempuan adalah pelaporan yang tidak ditindaklanjuti dengan alasan perkawinan korban dengan pelaku tidak dicatatkan. Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah menjelaskan, UU PKDRT tidak membedakan perkawinan sah dengan perkawinan yang tidak sah sebagaimana maksud ketentuan pasal 1 Undang-Undang Perkawinan.

Untuk itu, Komnas Perempuan mendorong agar UU PKDRT diterapkan pada kasus perkawinan tidak dicatatkan. “UU PDKRT telah disahkan sejak 2004, namun pemahaman dan respons penegak hukum terhadap laporan perempuan korban perkawinan belum tercatat masih beragam,” ungkap Alimatul dalam acara Peluncuran Kajian Cepat 20 Tahun Implementasi UU PKDRT secara daring, Senin (23/12).

“Belum semuanya mengacu pada UU PKDRT, UU Perkawinan, dan UU Pengasahan Ratifikasi CEDAW. Para aparat penegak hukum belum selaras dan memiliki kesepahaman mengenai posisi perkawinan belum tercatat,” jelasnya.

Ia pun mencontohkan praktik baik yang terjadi di Papua di mana beberapa kasus KDRT tanpa akta perkawinan disidangkan dengan UU PKDRT. Karena kebanyakan mereka menikah gereja atau adat, pembuktian dilakukan dengan menghadirkan saksi pendeta atau tokoh adat yang menikahkan dan keluarga yang menjadi saksi.

Alimatul juga menegaskan, sesungguhnya Pedoman Kejaksaan No 1 Tahun 2021 telah mengatur bahwa bukti perkawinan tidak mengandalkan pada pencatatan perkawinan atau salinannya, melainkan pada bukti-bukti lainnya. “Namun tampaknya aturan ini belum sepenuhnya dipahami oleh kepolisian termasuk putusan-putusan yang mendukung,” ujarnya.

Plt Kasubdit 1 Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan Direktorat Tindak Pidana Perlindungan Perempuan dan Anak Bareskrim Polri Kombes Pol Rita Wulandari mengatakan penyamaan persepsi perlu dilakukan di antara aparat penegak hukum.

“Memang mestinya kami bersama-sama aparat penegak hukum yang lain menyamakan persepsi bagaimana kita menyikapi/menangani seorang korban KDRT yang tidak dicatatkan perkawinannya,” kata Rita dalam kesempatan yang sama.

Ia menyebut bahwa penyidik pada dasarnya siap menerima pengaduan/laporan dan menerapkan ketentuan apa pun dalam UU PKDRT. “Terkait dengan perkawinan yang tidak dicatatkan, itu ada hambatan manakala dari hasil koordinasi belum ada sebuah persamaan persepsi karena yang menilai berkas kami adalah dari JPU, kemudian diminta petunjuk yang diberikan adalah adanya alat bukti berupa dokumen yang menunjukkan perkawinan,” paparnya.

“Kami berharap dengan adanya Pedoman Kejaksaan No 1 Tahun 2021, ini bisa terfasilitasi klausul ini bagaimana kita mendapatkan rumusan alat bukti apa yang memang bisa dicarikan oleh penyidik untuk bisa menerapkan unsur pasal KDRT kepada korban yang tidak dicatatkan perkawinannya,” jelasnya.

Selain perkawinan yang tidak tercatat, Komnas Perempuan juga mencatat tantangan lain dalam penanganan kasus KDRT. Misalnya perempuan korban sering kali tidak melapor atau mencabut laporan yang dipengaruhi, misalnya, ketergantungan secara ekonomi, sosial maupun psikis perempuan korban pada pelaku.

Kemudian penanganan pelaporan yang berlarut-larut; kriminalisasi korban; korban diarahkan untuk penyelesaian di luar proses hukum; ketersediaan jaminan perlindungan bagi korban masih terbatas; infrastruktur minim yang menghambat akses korban pada dukungan yang dibutuhkan; dan masih banyak lagi.

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriani melaporkan, KDRT masih menempati urutan pertama pengaduan terhadap Komnas Perempuan. Dari 582.780 aduan kekerasan terhadap perempuan dalam 23 tahun terakhir, KDRT mendominasi dengan 90%, dan sebanyak 94% merupakan kekerasan terhadap istri (KTI).

“Itu pun masih fenomena gunung es karena kemanapun kami pergi, selalu disampaikan bahwa sebetulnya lebih banyak lagi kasus-kasus yang tidak dilaporkan. Kalau kami menghitung, setiap jamnya, sekurang-kurangnya ada 3 perempuan sebagai istri yang menjadi korban kekerasan dari pasangannya,” ungkap Andy. (Z-9)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia
Berita Lainnya