Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
TANGGAL 25 November menjadi saksi bagi perjuangan perempuan di seluruh dunia dalam melawan kekerasan berbasis gender. Hari ini, yang ditetapkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Resolusi 54/134, bukan hanya sekadar peringatan, tetapi seruan bagi dunia meningkatkan kesadaran dan aksi dalam menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Semua berawal pada 25 November 1960, ketika tiga saudari Mirabal Patria, Minerva, dan Maria Teresa dibunuh secara brutal oleh diktator Rafael Trujillo di Republik Dominika. Mereka tidak bersalah selain menjadi perempuan yang berani melawan kekejaman dan ketidakadilan.
Sebagai aktivis yang memperjuangkan hak-hak mereka dan bangsa mereka, mereka dibungkam dengan kekerasan yang sangat tragis. Pembunuhan mereka yang dikenal dengan nama "Las Mariposas" (Si Kupu-Kupu) menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan yang menimpa perempuan di seluruh dunia.
Tahun 1999, untuk menghormati keberanian mereka, Majelis Umum PBB menetapkan tanggal 25 November sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Hari ini dirancang untuk mengingatkan dunia akan kekerasan yang tak terhitung jumlahnya yang dialami perempuan, sekaligus mendorong negara-negara untuk bertindak lebih tegas dalam mengatasi masalah ini.
Kekerasan terhadap perempuan bukanlah fenomena yang terbatas pada satu wilayah atau negara saja. Ini adalah salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang paling luas dan paling meresahkan di dunia.
Statistik global menunjukkan hampir satu dari tiga perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual, baik oleh pasangan intim, orang lain, atau keduanya, setidaknya sekali dalam hidup mereka. Angka ini bukan hanya sebuah statistik ia mencerminkan penderitaan yang dialami jutaan perempuan setiap hari.
Pada 2023, lebih dari 51.100 perempuan tewas akibat kekerasan berbasis gender, dengan rata-rata seorang perempuan terbunuh setiap 10 menit. Kekerasan terhadap perempuan ini terjadi tidak hanya di rumah, tetapi juga di tempat kerja, di ruang daring, bahkan dalam situasi konflik dan bencana akibat perubahan iklim. Kekerasan ini tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga menghancurkan mentalitas dan potensi perempuan di seluruh dunia.
Pada 1993, PBB melalui Resolusi 48/104 mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai setiap tindakan kekerasan berbasis gender yang berpotensi menyebabkan kerugian fisik, seksual, atau psikologis terhadap perempuan. Definisi ini menekankan pentingnya mengakui segala bentuk kekerasan, baik yang terjadi di ranah pribadi maupun publik, sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang harus dihapuskan.
Kini, lebih dari 70 tahun setelah terbentuknya PBB dan hampir 30 tahun sejak penetapan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, kita dihadapkan pada kenyataan meskipun kemajuan telah dibuat, perjuangan untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan belum selesai.
Setiap 25 November, dunia kembali diingatkan akan pentingnya perjuangan ini. Mungkin yang lebih penting lagi, dunia diingatkan setiap perempuan berhak untuk hidup tanpa kekerasan, tanpa rasa takut, dan dengan martabat yang seharusnya mereka nikmati sebagai manusia yang setara. (united nation/unesco/Z-3)
Tewasnya Valeria Marquez, seorang influencer kecantikan berusia 23 tahun, kembali membuka luka lama tentang tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan di Meksiko.
Isu krusial terkait pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak menjadi sorotan utama dalam Women Empowerment Conference yang digelar oleh Yayasan Putri Indonesia.
KOMNAS Perempuan mencatat dalam rentang 2020-2024, sekurangnya terdapat 190 pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh TNI.
Perayaan Hari Perempuan Internasional sangat penting untuk menyatukan pengalaman dalam memperjuangkan keadilan, kemerdekaan, melawan penindasan, dan ketidakadilan
hanya 0,19% perempuan korban kekerasan yang melaporkan kasusnya. Sementara 99,81% memilih untuk diam
ANGGOTA Komisi III DPR RI Lola Nerlia Oktavia mendesak agar pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak dihukum berat
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved