Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
STIGMA pada pria adalah pandangan atau prasangka negatif yang berkembang dalam masyarakat terhadap peran dan karakteristik tertentu yang diharapkan dari pria.
Stigma ini sering kali dibentuk norma sosial dan budaya yang kaku, serta dapat menyebabkan diskriminasi, tekanan psikologis, dan kesulitan dalam menjalani kehidupan mereka sesuai dengan ekspektasi sosial. Sudah terlalu lama, kaum pria diharapkan untuk menekan emosi mereka, bertahan, dan terus berjuang melewati masa-masa sulit.
Stigma pada pria sering kali menjadi penghalang bagi mereka untuk hidup lebih autentik dan sehat.
Dengan meningkatnya pemahaman tentang pentingnya keberagaman peran gender, diharapkan stigma ini dapat diminimalkan sehingga pria dapat berkembang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka, tanpa dibatasi oleh ekspektasi sosial yang sempit.
Lalu, apa saja stigma yang melekat pada kaum pria hingga saat ini? Simak penjelasannya.
Pria diharapkan akan menunjukkan ketahanan fisik dan mental, serta tidak menunjukkan kerentanannya. Mereka diajarkan untuk menekan emosi seperti sedih atau rasa takut, karena ada anggapan mengungkapkan emosi adalah tanda kelemahan atau ketidakdewasaan. Hal ini dapat menyebabkan stres emosional dan masalah kesehatan mental yang lebih besar.
Banyak pria yang merasa tertekan ekspektasi untuk menjadi penyedia utama bagi keluarga mereka, baik dalam hal finansial maupun kebutuhan lainnya. Stigma ini memaksa mereka untuk bekerja keras, bahkan sampai mengorbankan kesejahteraan pribadi mereka, untuk memenuhi peran ini.
Ada anggapan bahwa merawat penampilan atau kesehatan pribadi adalah hal yang lebih identik dengan perempuan. Oleh karena itu, pria yang terlalu peduli dengan penampilan, seperti memakai produk kecantikan atau rutin perawatan tubuh, terkadang dianggap kurang maskulin atau bahkan "lemah".
Maskulinitas toksik merujuk pada budaya yang mempromosikan ide bahwa pria harus selalu keras, kompetitif, dan tidak dapat menunjukkan kelemahan. Stigma ini juga melibatkan pemikiran pria harus memiliki kekuatan fisik, agresivitas, dan dominasi. Maskulinitas toksik dapat berdampak pada perilaku yang merusak, seperti kekerasan, kecurigaan, atau tekanan untuk memenuhi stereotip sosial.
Pria seringkali merasa harus sukses dalam segala hal yang mereka lakukan, mulai dari pekerjaan hingga hubungan pribadi. Kegagalan dianggap sebagai aib yang membeku, dan pria yang gagal mungkin dianggap kurang kompeten atau tidak cukup keras berusaha.
Stigma ini beranggapan pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, membersihkan, atau merawat anak, adalah tugas yang hanya cocok untuk perempuan. Pria yang terlibat dalam pekerjaan ini kadang-kadang dianggap kurang maskulin atau dianggap tidak sesuai dengan peran gender tradisional.
Ada anggapan pria selalu memiliki dorongan seksual yang tinggi dan harus tertarik pada seks sepanjang waktu. Pria yang tidak menunjukkan minat seksual atau memiliki tingkat dorongan seksual yang rendah seringkali dianggap “tidak normal” atau bahkan “kurang laki-laki”.
Stigma ini terkait erat dengan gagasan bahwa pria harus selalu tegas dan tangguh. Jika seorang pria terlalu sensitif atau lembek, ia bisa dianggap sebagai pria yang tidak cukup maskulin. Hal ini juga mendorong pria untuk menghindari interaksi yang lebih emosional atau empatik, yang seharusnya dianggap positif.
Ada ekspektasi besar pria harus memiliki pekerjaan yang mapan dan mengarah pada stabilitas finansial. Pria yang tidak dapat mencapai standar ini, misalnya mereka yang sedang mencari pekerjaan atau memilih jalur karir yang kurang konvensional, seringkali dianggap kurang berhasil atau tidak serius dalam hidup.
Stigma ini menyarankan pria yang menggunakan kekerasan atau menunjukkan agresi dalam situasi sulit adalah orang yang lebih kuat atau lebih berani. Hal ini sering dipromosikan dalam budaya populer dan dapat menyebabkan banyak masalah, termasuk kekerasan dalam rumah tangga dan konflik sosial.
Stigma-stigma ini mempengaruhi kesejahteraan pria secara keseluruhan, sering kali berakibat pada tekanan psikologis, gangguan mental, dan perilaku merusak. Mengubah pandangan sosial tentang peran pria dapat membantu mengurangi dampak negatif dari stigma-stigma ini.
Untuk mendobrak stigma yang melekat pada pria, kita perlu melakukan pendekatan yang mencakup beberapa aspek berikut:
Mengedukasi masyarakat tentang stereotip gender yang membatasi dan memperkenalkan konsep kesetaraan gender. Misalnya, membahas bagaimana pria juga memiliki hak untuk mengekspresikan emosi, mengejar karir yang tidak sesuai dengan harapan sosial, atau merawat diri sendiri.
Pria perlu diberdayakan untuk lebih memahami dan mengenali perasaan serta kebutuhan mereka sendiri. Hal ini dapat dilakukan dengan mendukung mereka untuk terbuka tentang kesehatan mental, perasaan, dan kerentanannya.
Menampilkan contoh pria yang sukses melawan stereotip, seperti pria yang terlibat dalam pekerjaan rumah tangga, berperan sebagai pengasuh anak, atau menunjukkan kerentanannya dengan berbicara tentang kesehatan mental. Contoh ini bisa menginspirasi orang lain untuk berpikir lebih terbuka.
Membuka ruang bagi pria untuk berbicara tentang tantangan yang mereka hadapi tanpa merasa terhakimi atau dipandang lemah. Kelompok diskusi atau terapi pria bisa membantu mereka merasa didengar dan dihargai.
Menerima bahwa tidak ada satu model peran yang tepat untuk pria. Masyarakat perlu melihat pria dalam berbagai peran, baik dalam keluarga, karier, atau kehidupan sosial, tanpa paksaan tradisional yang terbatas.
Dengan pendekatan yang lebih inklusif dan mendukung perubahan pola pikir ini, stigma terhadap pria perlahan-lahan dapat terurai. (Naluri Life, Butler Hospital/Mindful Health Solutions/Selectability/Z-3)
Journal of the American Heart Association mengungkapkan fakta mengejutkan: sindrom "patah hati" atau kardiomiopati takotsubo justru lebih mematikan bagi pria.
Sebuah studi internasional terbaru mengungkapkan alasan ilmiah mengapa pria dan wanita mengalami risiko, gejala, serta hasil kesehatan yang berbeda dalam menghadapi penyakit
Para ilmuwan menemukan penurunan risiko ini mungkin berbeda antara pria dan perempuan. Jadi siapa yang perlu berolahraga lebih banyak?
Sindrom patah hati bukan hanya istilah puitis. Sebuah studi medis terbaru membuktikan bahwa kondisi ini benar-benar bisa menyebabkan kematian—dan pria ternyata jauh lebih rentan.
Pria dalam penelitian ini, 45,4 persen diklasifikasikan sebagai penderita obesitas, dan hampir sepertiga memiliki kondisi pradiabetes 29,2% dan prahipertensi 31,1%.
Sebuah studi dari National Institute of Cardiology di Warsawa menemukan pria yang sudah menikah memiliki risiko 3,2 kali lebih besar mengalami obesitas dibandingkan pria lajang.
Perempuan di Indonesia masih merasa malu atau enggan membicarakan topik seputar menstruasi atau gangguan reproduksi yang berakibat pada kesehatan di masa mendatang.
Kemenkes Kesehatan menegaskan stigma menjadi salah satu tantangan terbesar dalam penanganan HIV/AIDS.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved