Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Kebijakan Cleansing Guru Honorer Bukti Gagalnya Koordinasi Pemerintah Pusat dan Daerah

Devi Harahap
15/7/2024 15:40
Kebijakan Cleansing Guru Honorer Bukti Gagalnya Koordinasi Pemerintah Pusat dan Daerah
Guru honorer dari Kabupaten Bekasi melakukan aksi jalan kaki menuju Istana Negara saat melintas di Cawang, Jakarta Timur, Kamis (12/10/2023)(ANTARA/Fakhri Hermansyah)

PADA awal semester baru ini, Pemerintah Daerah Khusus Jakarta (DKJ) memberlakukan sistem cleansing atau pembersihan guru honorer. Melalui kebijakan tersebut, banyak guru honorer di Jakarta yang diberhentikan secara sepihak oleh dinas pendidikan, bahkan beberapa guru honorer yang dipecat itu ada yang sudah mengajar lebih dari 10 tahun.

Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Heru Purnomo menjelaskan cleansing terhadap guru-guru honorer adalah kebijakan yang tidak manusiawi. Dikatakan bahwa kebijakan cleansing ini tanda bahwa pemerintah mengabaikan hak dan kondisi ekonomi, psikologis dan sosiologis dari guru honorer.

“Ini adalah keprihatinan terhadap rekan guru honorer yang diberhentikan secara sepihak. Seharusnya guru honorer yang sudah mengajar cukup lama harus dihargai, dihormati dan diperjuangkan untuk menjadi guru P3K, bukan justru dipecat,” jelasnya kepada Media Indonesia pada Senin (15/7).

Baca juga : 229 Ribu Guru PPPK belum Penempatan, Pemda Harus Proaktif

Melihat kebijakan yang sangat diskriminatif tersebut, Heru mendorong agar pemerintah Jakarta lewat dinas pendidikan dapat mempertimbangkan dan mengkaji ulang kebijakan cleansing ini karena selama ini guru honorer sangat membantu sistem pembelajaran di sekolah.

“Guru yang terkena cleansing juga akan menambah angka pengangguran yang bisa berdampak pada gangguan mental dan sosial. Bagaimanapun kebijakan cleansing ini tak hanya merugikan guru tapi juga satuan sekolah dan siswa,” katanya.

Heru menjelaskan akibat kebijakan cleansing tersebut, kepala sekolah mau tidak mau harus memaksa guru berstatus tetap yang ada di sekolah, untuk mengajar bidang studi yang tidak linear dengan jurusan atau keahliannya.

Baca juga : FSGI Soroti Tingginya Kasus Kekerasan di Satuan Pendidikan

“Hal itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan guru yang dianggap kosong karena ditinggalkan oleh guru honorer murni, akibat cleansing tersebut. Kerugian ini juga berdampak pada siswa karena harus belajar dengan guru yang tidak ahli di bidangnya,” imbuhnya.

Jika sudah demikian, lanjut Heru, tentu saja sekolah akan memperoleh hasil pembelajaran yang tidak efektif dan sulit meningkatkan nilai siswa. Bahkan lebih jauh lagi, siswa tidak akan mengerti mata pelajaran tersebut.

Saat ini, Heru dan berbagai serikat guru tengah mendata jumlah guru honorer yang akan terkena dampak cleansing di Jakarta. Namun ia memprediksi akan ada ribuan guru honorer baik di tingkat SD, SMP, dan SMA/SMK yang akan terdampak.

Baca juga : Kampanyekan Go Public Fund Education, Ketum PGRI: Kualitas dan Kesejahteraan Guru Kunci Penting Pendidikan Bermutu

“Di SMP 27 ada dua guru yang terkena cleansing, lalu di SMP 255 ada dua guru honor. Dari sana sudah bisa prediksi jika setiap sekolah ada dua guru yang terkena cleansing, sementara jumlah SMP Negeri di Jakarta ada 293, belum lagi SD ada ribuan, dan di SMA dan SMK juga banyak, tentu saja akan ada ribuan guru honorer yang terkena cleansing,” jelasnya.

Heru memahami bahwa pemerintah telah memandatkan dunia pendidikan untuk meniadakan guru honorer pada akhir 2024. Alih-alih memberlakukan cleansing, sebaiknya kata Heru, pemerintah memperbaiki sistem rekrutmen guru melalui PPPK, agar para honorer bisa mendapat kesempatan menjadi guru tetap serta kuota guru yang linear terhadap mata pelajaran dapat terpenuhi.

“Guru honorer ini harus diberikan kesempatan untuk mengikuti rekrutmen PPPK, jangan membuang mereka begitu saja,” katanya.

Baca juga : Banyak Sekolah Swasta di Bantul bakal Kehilangan Guru

Heru juga menjelaskan bahwa cleansing bukan kebijakan yang tepat untuk diterapkan mengetahui banyak sekolah yang masih kekurangan tenaga guru linear di beberapa mata pelajaran. Selain itu, ia menegaskan bahwa guru honor tidak membebani satuan sekolah lantaran sistem penggajian bersumber dari dana Bantuan Operasional Sekolah yang disalurkan oleh Kemendikbud-Ristek.

“Dalam aturan Kemendikbud-Ristek ada aturan bahwa penggunaan anggaran BOS diperbolehkan untuk membayar guru honor, tapi di satu sisi Dinas Pendidikan mengkhawatirkan hal ini akan membebani akhirnya dibuat kebijakan untuk membersihkan guru honor tetapi caranya tidak manusiawi,” jelasnya.

Maka penting bagi pemerintah pusat dan daerah untuk duduk bersama guna menjelaskan tumpang tindih kebijakan yang ada, karena guru perlu dilindungi seperti dalam aturan pasal 39 UU Guru dan Dosen.

Selain itu, kebijakan cleansing juga akan menimbulkan rasa pesimistis bagi para calon guru di masa depan dan dapat menimbulkan masalah baru bagi pendidikan nasional. “Ketika diberlakukan cleansing, akan banyak calon guru yang justru enggan menjadi guru, dan ini bisa menjadi masalah pendidikan nasional,” katanya.

Terpisah, Sekretaris Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) Temu Ismail mengungkapkan bahwa pihaknya sudah meminta keterangan dari Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Jakarta, namun hingga kini belum ada tanggapan sehingga pihaknya belum bisa menginformasikan lebih lanjut kepada Media.

“Terkait (kebijakan cleansing) tersebut, dari kemarin sedang kami mintakan informasi dan keterangan dari Dinas Pendidikan Jakarta tetapi belum ada balasan. Kami (masih) menunggu info resmi dari Pemda Jakarta dan akan segera kami lakukan rapat bersama untuk konfirmasi dan lainnya,” tandansya. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya