Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Cegah Kekerasan Seksual pada Anak, Lihat Anak sebagai Subjek bukan Objek

Devi Harahap
12/7/2024 19:48
Cegah Kekerasan Seksual pada Anak, Lihat Anak sebagai Subjek bukan Objek
Ilustrasi kekerasan pada anak(Dok.MI)

SOSIOLOG dari Universitas Indonesia (UI), Rissalwan Habdy Lubis mengatakan pemerintah harus lebih serius mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual pada anak, ia juga menilai bahwa penyelesaian kasus kekerasan seksual tidak hanya bisa ditegakkan dengan menggunakan instrumen struktural melalui aturan, tetapi harus ada intervensi secara kultural jangka panjang.

“Secara kultural anak seharusnya tidak semata dianggap sebagai objek yang dapat dibentuk dan diarahkan, tetapi harus mulai juga bahwa anak adalah subjek yang memiliki kehendak dan hak untuk mendapatkan perlakuan yang wajar sesuai aturan yang sudah dibuat, baik ditingkat nasional maupun internasional seperti dalam konvensi hak anak,” ungkapnya kepada Media Indonesia di Jakarta pada Jum’at (12/7).

Melihat banyaknya orang terdekat para korban yang menjadi pelaku kekerasan, Rissalwan menurunkan praktik kekerasan yang terjadi kepada anak juga merefleksikan relasi kuasa yang tidak terkendali. Menurutnya, dari perspektif struktur sosial, tidak ada pola yang membatasi relasi kuasa yang wajar.

Baca juga : Anak Perempuan 6 Kali Lipat Lebih Rentan Terkena Kasus Kekerasan Seksual dan Fisik

“Dalam kasus kekerasan orang tua pada anak, batasan tersebut seharusnya ada pada nilai-nilai, agama atau kasih sayang, tapi karena kerasnya persaingan sumber penghidupan akibatnya orang tua kehilangan atau lupa dengan norma agama dan nilai kasih sayang,” ujarnya.

Selain itu, Rissalwan menjelaskan bahwa korban kekerasan terhadap anak juga didominasi oleh teman sebaya. Dijelaskan bahwa hal ini disebabkan karena adanya faktor trauma, budaya hingga faktor kesamaan minat yang menjadi luntur hingga konflik.

“Sementara dalam kasus kekerasan teman sebaya, relasi kuasa terbangun oleh dominant social circle. Faktor kesamaan minat dan pengalaman dapat memicu keberadaan circle pelaku kekerasan ini, seperti misalnya trauma kejiwaan, faktor budaya keluarga, dan sebagainya,” katanya.

Pakar sosiologi Universitas Airlangga (Unair), Prof Dr Bagong Suyanto mengatakan bahwa anak perempuan lebih rawan menjadi korban tindak kekerasan karena secara kultural masih dianggap lemah. Dijelaskan bahwa ideologi patriarki juga kerap kali menempatkan anak perempuan cenderung menjadi objek dan diabaikan.

“Sudah seharusnya tugas negara melindungi, tapi perlu kerjasama dan dukungan dari komunitas di tingkat lokal. Kekerasan di ranah daring juga membutuhkan strategi penguatan literasi orang tua dan anak itu sendiri. Maraknya kekerasan seksual di ranah daring yang memakan korban anak perempuan ini disebabkan karena konstruksi yang salah dalam memahami hak anak,” ujarnya. (Dev/Z-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya