Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

APH Berspektif Gender Dibutuhkan dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual

Devi Harahap
07/7/2024 17:45
APH Berspektif Gender Dibutuhkan dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual
Masyarakat memegang flyer untuk mensosialisasikan UU TPKS(MI/Susanto)

APARAT penegak hukum (APH) yang memiliki perspektif gender dan sensitivitas terhadap korban, sangat dibutuhkan untuk menangani kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak secara berkeadilan. Oleh karena itu, kapasitas pengetahuan dan kemampuan APH dalam menangani kasus perempuan dan anak perlu ditingkatkan.

Hal itu sejalan dengan amanat yang tertuang dalam aturan pelaksana Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) berupa Peraturan Pemerintah (PP) No.27 tahun 2024 mengenai Koordinasi dan Pemantauan, Pelaksanaan, Pencegahan dan Penanganan Korban TPKS.

Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Siti Aminah Tardi mengapresiasi pengesahan RPP tersebut. Dikatakan bahwa, koordinasi antar K/L akan semakin diperkuat oleh PP tersebut, sehingga diharapkan sosialisasi terkait penanganan kekerasan seksual kepada para APH baik kepolisian, jaksa, hakim dan advokat serta lembaga layanan pengamatan akan semakin masif.

Baca juga : Ketua KPU Terbukti Berbuat Asusila, Komnas Perempuan Minta Kuatkan SOP PPKS di Pelaksanaan Pemilu

“PP tersebut akan menjadi panduan teknis bagi Menteri, Komnas HAM,Komnas Perempuan, KPAI dan KND serta masyarakat untuk melaksanakan pemantauan bersama, pemantauan sendiri maupun pemantauan mandiri untuk pencegahan dan penanganan korban TPKS. Kami juga terus mensosialisasikan peraturan tersebut ke penegak hukum,” jelasnya kepada Media Indonesia pada Minggu (7/7).

Aminah, sapaan akrabnya menjelaskan bahwa mengelola kasus terkait kekerasan terhadap perempuan diperlukan SDM yang kompeten, bersertifikasi, berempati serta memiliki keterampilan khusus. Jika hal-hal tersebut tidak terpenuhi, akan sangat sulit untuk mencapai tujuan sebab tujuan penyidikan selain memberikan kepastian hukum, juga adalah untuk pemenuhan hak korban.

“Sejumlah APH juga mengalami kesulitan dalam memahami unsur-unsur tindak pidana dalam setiap pasal UU TPKS dan turunannya. Padahal, pemahaman ini penting karena proses pembuktian sangat bergantung dengan pemahaman terhadap pasal yang ada,” tuturnya.

Baca juga : UU TPKS Jamin Hak Korban untuk Mengakses Proses Hukum dan Dokumen Hasil Penanganan

Oleh karenanya, untuk menanggulangi rendahnya pemahaman aparat mengenai penanganan kasus sesuai UU TPKS, pemerintah melalui Komnas Perempuan dan HAM sedang berproses menyelenggarakan suatu program pendidikan dan pelatihan (diklat) serta pembuatan modul khusus bagi APH.

“Untuk modul penanganan TPKS, kami sudah susun dan sudah diujicobakan dalam satu putaran pelatihan. Pelatihan yang disusun Komnas Perempuan dan IJRS ini menggunakan pendekatan SPPT PKKTP (Sistem peradilan pidana terpadu penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan),” kata Aminah.

Aminah menjelaskan bahwa lewat modul tersebut, peserta yang merupakan perwakilan dari masing-masing institusi penegak hukum dan lembaga pendamping akan diberikan pengetahuan mengenai teknis pencegahan penanganan tindak pidana kekerasan seksual.

Baca juga : Ancaman Kekerasan terhadap Perempuan di Masa Depan Semakin Kompleks

“Impemnetasi modul ini dalam sebuah program yang dinamakan Akademi Penghapusan Kekerasan Seksual (APKS). Tahun ini akan dilaksanakan pelatihan serupa dengan penekanan pada untuk isu penyiksaan seksual,” tuturnya.

Ia berharap modul ini dapat diadopsi oleh pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk selanjutnya diteruskan pada institusi-institusi terkait.

“Kami juga berharap materi-materi ataupun modul APKS itu bisa diadopsi oleh Kementerian dan Lembaga sehingga kita bisa gerak lebih cepat, walaupun hingga saat ini belum banyak mendapat atensi,” jelasnya.

Sesuai bledei PP tersebut, khususnya pada pada 12 ayat 3 disebutkan bahwa selama masa penanganan kasus, korban berhak mengakses berbagai informasi terhadap seluruh proses dan hasil penanganan, perlindungan, dan pemulihan.

Hal itu terdiri dari hak mendapatkan dokumen hasil Penanganan; hak atas layanan hukum; hak atas penguatan psikologis; hak atas pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan, tindakan, dan perawatan medis; hak atas layanan dan fasilitas sesuai dengan kebutuhan khusus Korban; dan hak atas penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan seksual dengan media elektronik. (Dev/Z-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya