Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
PSIKOLOG klinis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Indria Laksmi Gamayanti menyebut para pelaku kekerasan terhadap anak cenderung memiliki gangguan kesehatan mental.
"Secara psikologis, pelaku kekerasan cenderung memiliki gangguan kesehatan mental dalam dirinya sendiri," kata Indria dalam keterangan resmi, Kamis (4/4).
Dia menuturkan pada banyak kasus, pelaku kekerasan pada anak merupakan orangtua, guru, pengasuh, bahkan sesama anak.
Baca juga : Kekerasan Anak Meningkat 30%, Dibutuhkan Kepekaan Publik
"Kekerasan pada anak bisa dilakukan siapa saja. Sayangnya, menurut penelitian banyak dilakukan oleh orang-orang dewasa terdekat yang justru seharusnya bisa menjadi pelindung dari anak tersebut," ujar dia.
Menurut Indria, faktor pemicu dari tendensi tindakan kekerasan pada pelaku bermacam-macam, mulai dari kesiapan mental kondisi ekonomi, hingga pengalaman kekerasan serupa di masa kecil.
Indria menyebut ada tiga macam bentuk kekerasan pada anak, yaitu kekerasan fisik, kekerasan emosi, dan kekerasan seksual.
Baca juga : Kenali Gejala Kecanduan Gawai Pada Anak dan Cara Mengatasinya
Saat anak menjadi korban kekerasan fisik dan kekerasan seksual, kata dia, dipastikan diikuti dengan kekerasan emosi atau psikis.
Meski begitu, kekerasan yang paling banyak terjadi dan belum banyak disadari adalah kekerasan emosi dalam bentuk ujaran kemarahan, kebencian, penghinaan, dan bentuk kekerasan verbal lainnya.
"Yang sangat disayangkan, pelaku kekerasan justru berasal dari orang terdekat anak, khususnya orangtua dalam hal pola asuhnya," tutur dia.
Baca juga : Keterampilan yang Perlu Dibangun untuk Menguatkan Mental Anak
Orang dewasa yang melakukan kekerasan pada anak, ujar Indria, umumnya adalah orang-orang yang tidak matang secara emosi atau orang yang semasa kecilnya juga menerima tindakan serupa.
Ketika seseorang mengalami kekerasan di masa kecil, lanjut dia, ada potensi akan melakukan kekerasan yang lebih parah ketika beranjak dewasa.
"Bayangan masa lampau atau trauma masa kecil orang tua memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk melakukan tindakan kekerasan serupa atau lebih terhadap anaknya," kata dia.
Baca juga : Upaya Membebaskan Anak-anak dari Ketergantungan Ponsel
Karena itu, sebagai orang dewasa yang berada di lingkungan tempat anak tinggal, kata dia, semestinya mampu memberikan perlindungan terhadap tindak kekerasan.
Menjalin komunikasi yang baik dengan anak, menurut dia, sangat penting tidak hanya pada anggota keluarga, namun juga orang-orang sekitar.
"Masa kecil anak merupakan masa pertumbuhan yang krusial untuk membentuk karakter, karenanya diperlukan pengawasan dan pengasuhan yang baik supaya bentuk kelalaian berujung kekerasan tidak terjadi," pungkas Indria. (Ant/Z-1)
Puasa Daud tak hanya mendekatkan diri pada Tuhan, tetapi juga bermanfaat untuk kesehatan fisik, mental, dan spiritual.
WHO menyatakan bahwa stres merupakan respons alami manusia saat menghadapi tekanan atau perubahan dalam kehidupan. Setiap orang pasti pernah mengalami stres.
Temukan 6 kebiasaan sehari-hari yang tanpa disadari dapat meningkatkan hormon stres kortisol. Pelajari cara menghindarinya untuk menjaga kesehatan mental dan fisik Anda tetap optimal.
Dari 314 kasus kematian akibat bunuh diri pada 2024 di Singapura, 202 kasus atau 64,3% adalah laki-laki, sementara 112 kasus atau 35,7% sisanya adalah perempuan.
Baby blues merupakan kondisi yang terjadi akibat perubahan hormon, kelelahan serta mempersiapkan diri untuk beradaptasi dengan peran baru sebagai ibu.
Media sosial dapat memperburuk kondisi emosional penderita bipolar. Ketahui tiga dampak negatif utamanya.
Pendekatan sekolah terhadap siswa pada hari pertama bisa menjadi penentu bagaimana anak akan menjalani proses pendidikan selanjutnya.
"Kalau sudah di atas 7 tahun itu sebenarnya sudah tidak boleh (saat mandi) ditengok-tengok lagi, apalagi sama orangtua yang beda gender, karena menghormati anak juga,"
Perilaku menyimpang tidak semata-mata merupakan bentuk kenakalan, melainkan "sinyal" dari ketidakseimbangan dalam ekosistem kehidupan anak.
Meskipun pertanyaan soal kapan hamil terlihat sederhana, tetapi tidak bisa dipungkiri ada beberapa perempuan yang tersinggung. Ini cara menanggapinya menurut psikolog.
Orang yang melakukan flexing biasanya ingin terlihat sukses dari apa yang dia miliki untuk membangun citra orang terhadap dirinya atau agar dia mendapat pengakuan dari komunitasnya.
SEJUMLAH anak tampak kerap memegang genital atau alat kelaminnya sehingga tak jarang orangtua merasa khawatir melihat kebiasaan tersebut. Ini penyebabnya kata psikolog.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved