Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Menkes Dorong Instansi dan Industri Tingkatkan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Devi Harahap
02/3/2024 12:48
Menkes Dorong Instansi dan Industri Tingkatkan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin(ANTARA/ADITYA PRADANA PUTRA )

UPAYA meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja atau K3 di Indonesia masih tergolong rendah. Biaya yang mahal, kurangnya tenaga medis okupasi hingga perubahan iklim menjadi beberapa tantangan yang harus dihadapi bersama. Padahal, perusahaan tempat kerja perlu terlibat mendukung kesehatan pekerja baik secara fisik maupun mental untuk menciptakan hubungan kerja yang aman dan inklusif.

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan penting bagi industri dan seluruh tempat kerja untuk mencegah potensi kecelakaan ataupun penyakit akibat kerja serta menyediakan penggerak dan pembina K3 bagi pekerja. Hal ini lantaran akan berdampak peningkatan produktivitas kerja dan pembangunan bangsa di masa depan.

“Melalui visi indonesia emas 2045 dengan jumlah usia produktif yang lebih banyak, aktivitas menjaga kesehatan menjadi sarana yang penting. Saya mengajak semua pihak bersama memperhatikan keselamatan kerja dengan meningkatkan upaya edukasi, skrining kesehatan pekerja dan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai,” ujar Budi dalam acara Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-16 Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi (PERDOKI) di Jakarta pada Sabtu (2/3).

Baca juga : Menaker: Perlindungan Pekerja Perempuan Harus Ditingkatkan

Pada kesempatan itu, Budi melemparkan data terbaru mengenai kematian dan kecelakaan tenaga kerja yang terjadi di dunia industri. Melalui survei yang dilakukan International Commission on Occupational Health 2022, data menunjukkan bahwa setiap tahun, terdapat 3 juta kematian di seluruh dunia yang disebabkan oleh kecelakaan akibat kerja.

“Melalui data tersebut, 80 persen dari kematian tersebut disebabkan oleh aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan dan 20 persen diakibatkan oleh cedera akibat kecelakaan kerja. Untuk itu saya jug mendorong semua instansi dan industri untuk memiliki pos upaya kesehatan kerja supaya dapat meminimalisir kecelakaan kerja,” jelasnya.

Sementara data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Tenaga Kerja Dunia (ILO), sebagian besar kematian dalam pekerjaan berasal dari kelelahan akibat paparan jam kerja tinggi. Melalui data tersebut, jumlah kematian karena jam kerja ini mencapai 745.000 jiwa dari 1,9 juta kematian akibat kerja di 183 negara.

Baca juga : Masyarakat Diingatkan untuk Waspadai Masalah Kesehatan Mental di Tempat Kerja

Pada kasus di Indonesia sesuai laporan tahunan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, pada 2020 terdapat 221.740 kasus angka kecelakaan kerja. Sementara pada tahun 2021 terdapat 234.370 kasus. Adapun sepanjang 2022 tercatat 265.334 kasus.

Ketua Umum Perdoki, Astrid B Sulistomo mengatakan industri yang paling riskan terhadap kecelakaan kerja seperti bidang migas, manufaktur, dan konstruksi harus menyediakan fasilitas kesehatan yang ekstra. Menurutnya, para pekerja belum terlalu sadar mengenai pentingnya kesehatan mereka, hal itu juga diperparah dengan dukungan yang minim dari perusahaan dalam menyediakan fasilitas kesehatan kerja.

“Paparan bahan kimia berbahaya termasuk polutan, debu, uap, dan asap juga tetap menjadi bagian yang harus diperhatikan. Kesadaran pekerja terhadap kesehatan di tempat kerja juga masih rendah misalnya pemakaian alat pelindung diri juga masih banyak diabaikan. Sehingga edukasi memang harus terus didorong,” ujarnya.

Baca juga : Ini Penyebab Anda Selalu Merasa Stres Setiap Kali Mau Berangkat Kerja

Astrid menjelaskan bahwa Indonesia masih kekurangan tenaga dokter di bidang spesialis okupasi. Saat ini, jumlahnya hanya sekitar 200-an dokter untuk melayani sekitar 165 juta pekerja di Indonesia. Meskipun ada bantuan dari tenaga ahli K3, namun kebutuhan ini mendesak melihat adanya bonus demografi usia produktif ke depan.

“Jumlahnya masih sangat kurang. Meskipun ada tenaga K3 yang sudah mendapatkan pelatihan, tetapi jumlahnya juga masih sangat kurang untuk menangani para pekerja. Selain itu, pada umumnya kesadaran perusahaan dalam penyediaan tenaga medis di tempat kerja juga masih terbatas, mereka masih melihat kesehatan tenaga kerja ini sebagai biaya bukan investasi ke depan,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Astri menjelaskan angka kecelakaan dan kematian tenaga kerja yang tertinggi masih didominasi pada saat pekerja berada di perjalanan menuju atau pulang dari tempat bekerja. Angka kecelakaan tertinggi masih terjadi pada kasus kecelakaan lalu lintas.

Baca juga : ASI dan Imunisasi Sama Pentingnya untuk Anak Anda

“Jenis kecelakaan kerja dapat digolongkan dalam beberapa klasifikasi yaitu bisa terjadi saat pekerja berangkat menuju ke tempat kerja, saat di tempat kerja maupun dalam perjalanan kembali pulang ke rumah. Sejauh ini, kecelakaan kerja yang paling tinggi terjadi di jalanan pada saat pekerja menuju tempat kerja ataupun saat pulang ke rumah,” ungkapnya.

Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Haiyani Rumondang mengatakan, penerapan budaya K3 jangan hanya fokus pada kesehatan fisik tetapi juga mental. Hal ini harus dilihat secara holistik agar mampu mengurangi potensi kecelakaan ataupun penyakit akibat kerja yang pada akhirnya mampu meningkatkan produktivitas kerja.

“Tenaga kesehatan dan K3 jangan harus mampu mencegah penyakit yang disebabkan oleh kondisi kerja. Pendekatan harus lebih holistik, tidak hanya pada aspek kesehatan fisik tetapi juga terhadap kesehatan mental dan emosional yang disebabkan oleh stress akibat pekerjaan hingga jika terjadi kekerasan dan faktor lain yang mempengaruhi kesejahteraan pekerja,” jelasnya.

Baca juga : Bulan K3, BPJS Ketenagakerjaan Jateng-DIY Serahkan Santunan Kecelakaan Kerja

Sementara itu, Komisi Kesetaraan Nasional Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Maria Emeninta berpendapat, advokasi pentingnya K3 masih lebih banyak menyasar kepada pekerja formal. Padahal, K3 sama pentingnya bagi mereka yang bekerja di sektor informal.

“Cakupan risiko K3 itu luas, termasuk risiko kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja. Kesadaran adanya kedua jenis risiko ini seharusnya dimiliki oleh pekerja sekaligus pekerja,” ujarnya

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi menjelaskan peran tenaga medis dalam kesehatan dunia kerja sudah terjadi sebelum masa revolusi industri. Dikatakan bahwa penyakit akibat aktivitas kerja di dunia industri kian beragam dan berkembang sehingga dibutuhkan inovasi dan kecepatan dari para dokter untuk menghadapi tantangan di masa depan.

“Dunia kesehatan kerja juga menghadapi tantangan kerja sehingga praktisi tenaga kerja harus mampu menjawab masalah-masalah terkait kesehatan pekerja dengan memanfaatkan berbagai teknologi. Kita juga harus bisa menerapkan aplikasi dan penggunaan perangkat sensor yang mendukung dalam prose diagnosa sebuah penyakit, tentunya ini akan berdampak pada laporan kesehatan pekerja,” tandasnya. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya