Headline
Sebaiknya negara mengurus harga barang dulu.
SEJUMLAH ekonom mengungkapan bahwa pasal-pasal tembakau dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan berpotensi memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini dapat terjadi jika aturan tembakau yang bersifat restriksi bagi industri hasil tembakau tersebut tidak direvisi oleh Kementerian Kesehatan.
“Pertumbuhan ekonomi akan turun sekitar 0,53% jika pasal-pasal (tembakau) tersebut diberlakukan. Dari sisi penerimaan negara, terdapat indikasi penurunan penerimaan perpajakan hingga Rp52,08 triliun,” ungkap Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad dalam keterangan resmi yang diterima, Jumat (19/1).
Dalam kajiannya, INDEF juga melakukan perbandingan antara biaya kesehatan yang ditimbulkan dari industri hasil tembakau dengan kerugian ekonomi yang ditimbulkan jika pasal-pasal tembakau di RRP Kesehatan diterapkan oleh pemerintah. Hasilnya, tidak imbang karena negara akan mengalami kerugian lebih besar.
Baca juga: Pedagang Sebut Pasal Tembakau di RPP Kesehatan Menghambat Usaha
“Perhitungan INDEF di tahun 2022 menunjukkan pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan akibat konsumsi rokok secara langsung dan tidak langsung sebesar sebesar Rp34,1 triliun. Sementara, kerugian ekonomi secara agregat yang akan ditanggung oleh negara akibat pasal-pasal tembakau dari RPP Kesehatan ini sebesar Rp103,08 triliun,” jelasnya.
Selain itu, bagi aspek ketenagakerjaan, dari hasil pengukuran INDEF, Tauhid memaparkan bahwa pemberlakuan pasal-pasal tembakau tersebut juga akan mengakibatkan penurunan tenaga kerja hingga 10,08% di sektor industri hasil tembakau. Kemudian, serapan tenaga kerja di perkebunan tembakau juga akan tergerus hingga sebesar 17,16%.
“Seperti yang pernah saya sampaikan, industri hasil tembakau tidak ingin mati di lumbung sendiri karena ada banyak hal yang sangat bergantung pada industri hasil tembakau. Bahkan, termasuk di dalamnya sektor kesehatan,” terangnya.
Baca juga: DPR Minta Pemerintah Berhenti Abaikan Derasnya Penolakan RPP Kesehatan
Tauhid melanjutkan bahwa kajian ini penting dilakukan oleh INDEF mengingat besarnya kontribusi industri hasil tembakau dan ekosistemnya terhadap perekonomian negara. ”Pasal-pasal (tembakau) yang dihitung dampaknya terhadap ekonomi, antara lain berkaitan dengan jumlah (minimal batang rokok dalam setiap) kemasan, larangan pemajangan produk, dan pembatasan iklan,” ungkapnya.
Kesimpulannya, lanjut Tauhid, biaya kesehatan yang ditanggung tidak lebih besar jika dibandingkan dengan biaya ekonomi yang ditanggung negara. “Intinya, biaya kesehatan masih jauh lebih kecil dibandingkan dampak ekonomi yang akan ditimbulkan dari pasal-pasal tembakau dalam RPP Kesehatan,” jelasnya.
Sementara, pemerintah tetap membutuhkan penerimaan negara. Begitu pula dengan program-program kesehatan yang sumber pembiayannya berasal dari penerimaan negara. ”Maka dari itu, diperlukan pertimbangan yang lebih mendalam ketika merumuskan RPP Kesehatan ini dan karena itu kami menyarankan agar pasal-pasal tembakau dapat dikeluarkan dari RPP Kesehatan,” saran Tauhid.(Z-10)
Penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur aspek strategis Industri Hasil Tembakau (IHT) menuai penolakan keras dari kalangan pekerja.
Desakan untuk membatalkan pasal-pasal tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pengamanan Zat Adiktif semakin menguat.
Jika industri tembakau sebagai pembeli utama bahan baku terganggu, maka penyerapan hasil panen petani akan menurun drastis.
Bupati Klaten, Hamenang Wajar Ismoyo, menegaskan bahwa sektor tembakau merupakan salah satu andalan perekonomian daerah
Presiden Prabowo selama ini selalu mengatakan bahwa Indonesia kaya akan sumber daya alam dan ini harus dibuktikan dengan menjadikan kekayaan itu sebagian besar menjadi milik negara.
Pemerintah kembali menuai kritik tajam atas implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved