Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

COP28 Sepakati Pengurangan Bahan Bakar Fosil

Atalya Puspa
13/12/2023 20:22
COP28 Sepakati Pengurangan Bahan Bakar Fosil
COP-28 berlangsung di Dubai, UEA(AFP/Jewel Samad )

PERWAKILAN hampir 200 negara di Conference of the Parties COP28 Dubai akhirnya bersepakat untuk mulai mengurangi konsumsi bahan bakar fosil guna menghindari dampak terburuk perubahan iklim. Kesepakatan itu disebut sebagai yang pertama dalam sejarah dan menandakan akhir dari era minyak.

Kesepakatan yang dicapai di Dubai setelah dua minggu negosiasi sengit dimaksudkan untuk mengirimkan sinyal kuat kepada investor dan pembuat kebijakan bahwa dunia bersatu dalam keinginan untuk mengakhiri penggunaan bahan bakar fosil, sesuatu yang para ilmuwan katakan sebagai harapan terakhir untuk mencegah bencana iklim.

Presiden COP28, Sultan Al Jaber, menyebut kesepakatan ini merupakan sejarah, tetapi yang perlu diingat ialah bahwa implementasi menjadi kunci dari keberhasilan.

Baca juga: COP-28 Berakhir, Negara Maju Mangkir 

"Kita adalah apa yang kita lakukan, bukan apa yang kita katakan. Kita harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengubah kesepakatan ini menjadi tindakan nyata,” katanya.

Dalam kesepakatan tersebut, dikatakan bahwa negara menyerukan beralih dari bahan bakar fosil dalam sistem energi dengan cara yang adil dan teratur untuk mencapai netralitas karbon berbasis sains pada 2050.

Baca juga: Norwegia Bayarkan US$100 untuk FOLU Net Sink Indonesia

Selain itu, kesepakatan tersebut mengusulkan peningkatan tiga kali lipat kapasitas energi terbarukan secara global pada tahun 2030, percepatan upaya pengurangan penggunaan batu bara, dan percepatan teknologi seperti penangkapan dan penyimpanan karbon yang dapat membersihkan industri yang sulit di dekarbonisasi.

Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong mengungkapkan, dalam proses diskusinya, ada beberapa persoalan krusial yang masih mengundang respon penolakan dari negara berkembang.

“Terkait dengan energi, hal utama yang menjadi sumber perbedaan adalah peningkatan ambisi tiga kali untuk EBT dan dua kali untuk efisiensi energi dan peningkatan ambisi pengurangan gas metana secara substansial,” beber dia.

Menurut dia, sepanjang diskusi, negara-negara berkembang tidak sependapat karena mengarah pada target penurunan 2030. Negara berkembang menginginkan narasi yang sama seperti yang disepakati di Glasgow.

Selain seruan mengurangi bahan bakar fosil, beberapa hasil dari penyelenggaraan COP28 selama dua pekan, yakni 30 November hingga 12 Desember di antaranya kesepakatan dana kerugian dan kerusakan senilai ratusan juta dolar dari beberapa negara. Selain itu komitmen senilai US$3,5 miliar untuk mengisi kembali sumber dana iklim hijau. Selain itu Pengumuman baru total lebih dari US$150 juta untuk Dana Negara Berkembang Terkecil (LDC) dan Dana Perubahan Iklim Khusus (SCCF).

Adapun, Azerbaijan diumumkan sebagai tuan rumah resmi COP29 pada 11 hingga 22 November 2024. Selanjutnya, Brazil menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah COP30 di Amazon pada 2025.

Menanggapi hasil COP28, Pakar Kebijakan Lingkungan dari Universitas Brawijaya Pramono mengakui, untuk mendapatkan kata sepakat dalam penghapusan bahan bakar fosil memang bukanlah hal yang mudah.

“Karena ada faktor politik dalam negeri dan luar negeri yang mempengaruhi tidak bisa dihapusnya bahan bakar fosil. Banyak pihak yang berkaitan dengan bisnis dalam dan luar negeri,” bebernya.

Bukan hanya urusan perubahan iklim, penghapusan bahan bakar fosil harus juga memperhatikan segi politik, ekonomi, sumber daya manusia, tenaga kerja, perdagangan, sosial, budaya, pertahanan serta keamanan secara nasional dan internasional. “Selain itu energi baru terbarukan kebijakannya masih belum maksimal,” imbuh dia.

hingga kini negara-negara memang masih mencari bentuk kebijakan politik tingkat tinggi untuk menangani perubahan iklim.

“Karena perubahan iklim ini secara dunia global, baik aspek partisipatif, policy inklusif, transparansi proses di setiap negara ada jalur administrasi pengumpulan data dari semua pihak terkait. Mulai dari primer, sekunder dan teknis,” kata dia.

“Masih ada ketimpangan kesenjangan data, proses dan sebagainya, juga kebijakan politik di masing-masing negara,” imbuh dia.

Menurut Pramono, semua aksi harus sejalan dengan perencanaan dan teori yang ada. Semua pihak harus saling terintegrasi untuk mendapatkan kemajuan dalam pengendalian perubahan iklim.

“Selain itu dari sisi pendanaan iklim harus tepat sasaran sesuai roadmap jangka panjang. Jika tidak, maka banyak gap dan penyimpangan dalam mewujudkan realisasi kebijakan dalam mencapai global stocktake,” jelasnya.

Dalam konteks Indonesia, ia menilai masih perlu banyak hal yang diperbaiki dalam pengendalian perubahan iklim. Indonesia sebagai paru-paru dunia, di satu sisi masih banyak menjalankan kegiatan industri, pertambangan yang mengurangi luasan hutan, aktivitas pemukiman yang menghasilkan emisi dan peningkatan suhu.

“Hal ini menjadi tantangan Indonesia untuk memperbaiki dari semua lini dengan konservasi energi, restorasi hutan, rehabilitasi lahan, pertanian, perkebunan, tambang, industri dengan energi baru terbarukan yang dilengkapi dengan pengendali emisi yang baik,” beber dia.

Di samping itu, pengelolaan limbah B3 masih menjadi PR Indonesia. Semua harus dilakukan terintegrasi di semua daerah. “Maka negara Indonesia akan mampu melakukan perubahan secara positif dan mendasar. Dengan melihat kondisi itu, bisa menjadi klaim untuk bisa mendapatkan pendanaan dengan menyampaikan hasil evaluasi perubahan yang dilakukan secara serius dan riil di lapangan,” pungkas Pramono. (Ata/Z-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya