Headline

Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.

Fokus

Perluasan areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanah mereka.

Penghapusan Tembakau, Perang Kepentingan Bisnis dengan Kesehatan Masyarakat

Atalya Puspa
09/11/2023 17:11
Penghapusan Tembakau, Perang Kepentingan Bisnis dengan Kesehatan Masyarakat
Seorang petani memanen daun tembakau lebih awal akibat banjir di Desa Ampel, Wuluhan, Jember, Jawa Timur(ANTARA FOTO/Seno)

DALAM hal penghapusan tembakau, setiap negara berperang antara kepentingan bisnis dan kesehatan masyarakat. Hal itu diungkapkan oleh Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia Abdillah Ahsan.

“Namun, merokok merupakan perilaku yang bisa dicegah. Kalau mau sehat tanpa merokok, cara mencegahnya ya berhenti merokok untuk mengurangi berbagai risikonya,” kata Abdillah saat mengunjungi kantor Media Indonesia, Kamis (9/11).

Menurut dia, berdasarkan berbagai penelitian, data membuktikan bahwa konsumsi rokok akan berpengaruh pada peningkatan risiko terkena penyakit berbahaya. Misalnya saja stroke, orang yang merokok berisiko terkena penyakit tersebut tiga kali lipat dibanding yang bukan perokok.

Baca juga: Komunitas Nilai RPP Kesehatan Menghentikan Industri Kretek Nasional  

Bukan hanya berdampak buruk bagi kesehatan diri sendiri, tapi juga bisa berdampak pada kesehatan orang lain. Misalnya saja pada perokok pasif. Lebih jauh dari itu, perokok yang memiliki anak juga secara tidak langsung memangkas uang yang semestinya dialokasikan untuk membelikan makanan yang bergizi seperti daging dan sayur-sayuran.

Ia pun mendapatkan fakta bahwa pengeluaran konsumsi rokok di keluarga miskin ialah lebih dari 60%. Angka itu jauh lebih tinggi dibanding negara-negara lainnya yang hanya berkisar 15% sampai 20%.

Baca juga: Legislator Dukung Serikat Pekerja Tolak Aturan Produk Tembakau di RPP Kesehatan

“Lalu kalau bapaknya merokok, asapnya gak mungkin ditelan. Sehingga akan memengaruhi kualitas udara perokok pasif. Itu yang akan memengaruhi kondisi gizi dan akhirnya stunting,” beber Abdillah.

Sayangnya, Indonesia saat ini belum meratifikasi Framework Convention Tobacco Control, yang merupakan perjanjian untuk melakukan kontrol produksi tembakau. Hal itu yang dinilainya membatasi perkembangan regulasi tentang produk tembakau di Indonesia.

Adapun, saat ini pihaknya tengah mendorong revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan menjadi Keputusan Presiden nomor 25 tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023.

Ada beberapa poin yang didorong, di antaranya pelarangan penjualan ketengan hingga mengusulkan agar penjualan rokok perbungkus menjadi 20 batang. Hal itu dilakukan agar rokok tidak mudah dijangkau oleh semua kalangan, khususnya anak-anak.

“Ekonomi harus ditopang dengan masyarakat yang sehat, ekonomi tidak boleh diserahkan pada industri yang merusak lingkungan dan kesehatan,” pungkas dia.

Pada kesempatan itu, Vital Strategies Center of Huma and Economic Development (CHED) - Institute Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Lily S. Sulistyowati mengungkapkan, diharapkan revisi PP tersebut rampung tahun ini. Diharapkan, dengan adanya regulasi, semua pihak bisa sama-sama mendorong implementasi sampai ke tingkat tapak.

“Selama ini rokok berbahaya, yang disayangkan bahwa pemerintah ini di satu sisi mengatakan akan mencapai bonus demografi 2045, tapi bagaimana mau menuju ke sana, tidak ditunjukkan dengan action yang baik. Kalau ada regulasi, diharapkan ini bisa menjadi pendorong,” ycap dia.

Menurut Lily, pengendalian tembakau secara ketat memang sudah seharusnya dilakukan. Pasalnya, tembakau merupakan salah satu penyebab dari kasus stroke dan stunting nomor satu di Indonesia. Di samping itu, ada masalah-masalah lain yang disebabkan oleh rokok, di antaranya polusi hingga pencemaran lingkungan. (Ata/Z-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya