Headline

Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Mengantisipasi Generasi yang Hilang Akibat Stunting

Ferdian Ananda Majni
07/4/2022 08:18
Mengantisipasi Generasi yang Hilang Akibat Stunting
Kader PKK mengukur lingkar kepala balita di Posyandu Bougenvile, Pemancar, Depok, Jawa Barat, Rabu (6/4/2022).(ANTARA/YULIUS SATRIA WIJAYA)

DIREKTUR Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kemenkes Erna Mulati mengatakan pihaknya melakukan intervensi pada sebelum dan sesudah lahir pada bayi sebagai upaya pencegahan dan mengatasi stunting. Pasalnya, Indonesia masih mengalami double burden persoalan gizi.

"Tidak hanya persoalan gizi kurang, termasuk kekurangan makro dan mikro nutrien serta ini memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap kualitas hidup," kata Erna dalam diskusi Denpasar bertajuk Mengantisipasi Generasi yang Hilang Akibat Stunting secara virtual Rabu (6/4).

Erna menyebut stunting yang terjadi pada anak-anak sekitar 23% sejak kelahiran dan meningkat setelah mendapatkan makanan pendamping asi sekitar usia 6 bulan hingga 23 bulan. "Jadi diperlukan penguatan pengetahuan dan pola asuh serta pemberian layanan kesehatan pada balita," sebutanya.

Begitu juga melakukan penguatan kepada remaja putri dan mengedukasi untuk mengomsumsi makanan cukup gizi dan menghindari tinggi lemak agar tidak obesitas.

Baca juga: Mengembangkan Teknologi Pemetaan Padang Lamun

“Kemudian pada remaja putri usia 12-17 tahun diberikan tablet penambah darah target 58% dan dipastikan mereka meminumnya satu minggu sekali agar tidak menderita anemia,” sebutnya.

Pihaknya melakukan screening pada anak remaja atau kelas 7-10 untuk mengetahui anemia atau tidak. Apabila terdeteksi, maka akan dilakukan tata laksana dan mencari faktor penyebab anemia.

Kemenkes juga melakukan penguatan pelayanan antenatal yang diberikan untuk ibu hamil, yang tadinya empat kali menjadi enam kali. Pertama dilakukan oleh dokter untuk mencari faktor resiko kehamilan pada ke semua ibu hamil. 

Diteruskan pada trimester ketiga sampai sebelum hari perkiraan lahir untuk mencari faktor resiko persalinan pada ibu hamil.

Erna menambahkan dari pemeriksaan dokter ini, dengan Ultrasonografi (USG) dilihat apakah ada gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada janin.

Baca juga: BPKH Banjarbaru Kumpulkan Data Kepemilikan Kebun Sawit di Kalsel

Untuk semua ibu hamil juga diberikan tablet penambah darah selama kehamilan dan dengan aplikasi yang digunakan bisa memantau apakah si ibu meminum atau tidak.

Selanjutnya, dengan pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil dengan kurang energi kronis yang jumlahnya berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 ada sekitar 17,3%.

“Ini lumayan cukup banyak dan jika ibu hamil dengan kurang energi kronis maka akan menghasilkan anak anak yang berat bayi lahir rendah (BBLR) yang tentunya menjadi faktor resiko terjadinya stunting,” lanjutnya.

Sementara itu, Ketua Komisi IX Felly Estelita Runtuwene menyebut bahwa prevalensi stunting Indonesia tertinggi kedua setelah Kamboja di kawasan Asia Tenggara. Penyebab, timbulnya stunting akibat persoalan gizi kronis yang belum teratasi.

"Kondisi ini juga dipengaruhi lingkungan gizi dan kesehatan baik periode dalam kandungan maupun pascakelahiran hingga periode balita," ujarnya.

Dia menambahkan persoalan stunting di Indonesia telah menjadi isu pembangunan nasional terutama berpengaruh terhadap kualitas pembangunan sumber daya manusia, tidak terbatas hanya persoalan kesehatan.

"Stunting yang terjadi pada 1000 hari pertama kehidupan, disamping berisiko menghambat pertumbuhan fisik dan kerentanan anak terhadap penyakit juga menghampat perkembangan kognitif yang akan berpengaruh pada tingkat kecerdasan dan produktif anak di masa depan," tambahnya

Dia menyebut stunting dapat menimbulkan kerugian ekonomi negara sebesar 3% pertahun dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sehingga ia menyoroti kepemimpinan Presiden dalam memprioritaskan upaya peningkatan gizi dan akses terhadap layanan kesehatan tentunya dapat menurunkan prevalensi stunting secara signifikan.

"Kalau di Peru prevalensi stunting turun dari 8,5% menjadi 14,4% dalam kurun waktu 8 tahun, sementara di Brazil prevalensi diturunkan sebanyak 30% tetapi dalam kurung waktu 30 tahun. Secara nasional, ada 1 provinsi yang boleh jadi contoh, seperti Bali yang sudah melebihi target 14%," paparnya.

Persoalan stunting menjadi prioritas pemerintah dengan target penurunan stunting di seluruh kabupaten kota hingga 2024. Meskipun terjadi penurunan prevalensi, secara 2 dasawarsa angka prevalensi menunjukkan angka penurunan dari 37,2 pada tahun 2013 ke angka 30,8% pada tahun 2018.

"Angka prevalensi rata-rata nasional masih jauh di atas batas yang digunakan oleh WHO sebagai batas masalah kesehatan masyarakat sebanyak 20%," lanjutnya.

Oleh karena itu, penurunan prevalensi stunting dibutuhkan upaya serius seluruh stakeholder terkait, mereka memerlukan dukungan baik dari korporasi pusat hingga masyarakat di tingkat bawah.

Fokus pencegahan

Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengaku memang saatnya kualitas SDM harus diperhatikan. Sebab, keluarga membutuhkan pembinaan dari sisi kualitas sumber daya manusia itu sendiri.

"Sedangkan kuantitas, alhamdulillah dari hasil berbagai pendataan, baik dari BPS, dan BKKBN menurunkan angka kelahiran total atau total fatality rate (TFR) 2,2, kita bersyukur laju pertumbuhan penduduk juga menurun," tuturnya.

Dia menambahkan berfokus pada pencegahan stunting sebelum terjadinya kehamilan yaitu pada para calon pengantin dan pada ibu hamil. Walaupun anak yang sudah stunting dikatakan tetap harus diurus dengan baik.

"Namun mencegah stunting di masing-masing daerah adalah strategi ampuh untuk mempermudah para kepala daerah menurunkan stunting di wilayahnya," jelasnya.

“Karena waktu tinggal kurang dari 2,5 tahun, mari faktor spesifik yang ada disaat mau nikah karena anemia, karena kurang gizi diselesaikan. Saat hamil kurang vitamin diselesaikan, saat melahirkan KB nya harus diurus biar ASI nya juga eksklusif, diselesaikan. Ini kita inkubasikan saja," tambahnya.

Sehingga tekadnya meskipun ada masyarakat masih miskin, bisa melahirkan anak yang tidak stunting. Meskipun ada yang belum punya jamban karena APBD terbatas tetapi bisa melahirkan anak tidak stunting.

"Itu tekad kita karena uang terbatas. Lain halnya kalau Pak Bupati uangnya banyak silahkan semua diselesaikan. Tetapi kalau tidak punya uang banyak ingin angka stunting menjadi 14% tadi, tangkap yang mau nikah, tangkap yang mau hamil, tangkap yang baru melahirkan, (agar) tidak melahirkan (anak) stunting, baru sambil mengurus yang stunting," tegasnya.

Selain itu, BKKBN selalu mengingatkan dan mendorong Tim Pendamping Keluarga (TPK) yang telah dibentuk di seluruh desa untuk mendampingi para calon pengantin dan ibu hamil hingga 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).

Sehingga Fungsi BKKBN dan Tim Percepatan Penurunan Stunting di sini tidak sebagai teknis medis karena hal itu akan dilakukan oleh Dinas Kesehatan dan para tenaga kesehatan. "Maka dari itu diharapkan semua sektor bergotong royong dalam rangka menurunkan anemia pada ibu hamil, menurunkan kematian ibu, menurunkan kematian bayi, dan menurunkan stunting," tambahnya.

Hasto memaparkan bahwa data yang telah disediakan di Pendataan Keluarga tahun 2021 (PK 21) sangat bisa digunakan oleh para kepala daerah untuk percepatan penurunan stunting. Sehingga segala bantuan baik PKH, bantuan pangan nontunai, jambanisasi, rumah layak huni dan lainnya bisa mengerucut menjangkau keluarga yang berisiko stunting tersebut.

Selain itu aplikasi Elsimil yang nantinya berisi data tentang kondisi kesehatan calon pengantin dan ibu hamil diharapkan bisa secara real time by name by address tersaji di dashboard para kepala daerah agar segera melakukan intervensi apabila ditemukan catin dan keluarga yang berpotensi melahirkan anak stunting.

Dalam kesempatan itu, dengan melihat tren stunting balita tahun 2013-2019 dan target tahun 2024, Rektor Universitas YARSI Prof Fasli Jalal mengatakan skenario akselerasi penurunan stunting pada RPJMN 2020-2024.

"Tiap tahun harus ada penurunan prevalensi angka stunting sebesar 4,3% per tahun untuk mencapai angka 14% di tahun 2024," sebutnya.

Prof. Fasli Jalal menambahkan stunting adalah sebuah kondisi, di mana tinggi badan seseorang ternyata lebih pendek dibanding tinggi badan orang lain pada umurnya (yang seusia).

Hal itu disebabkan kurangnya asupan gizi yang diterima saat masih dalam kandungan (janin) dan setelah lahir (bayi) terutama di 1.000 hari pertama kehidupan.

“Pada masa-masa itu sangat dibutuhkan asupan gizi yang cukup dan seimbang agar anak terbebas dari masalah stunting yang berakibat terganggunya pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak di masa selanjutnya," lanjutnya.

Prof Fasli menambahkan remaja putri sangat rentan kekurangan nutrisi dan mineral salah salah satunya kekurangan zat besi saat remaja putri telah mengalami menstruasi. Hal ini bisa diatasi dengan memperhatikan asupan gizi dan bisa ditunjang dengan asupan suplemen zat besi.

Universitas Yarsi juga telah bersinergi dengan pemerintah daerah melakukan penanganan stunting dengan beberapa program. Salah satu program yang dilakukan adalah edukasi kepada orang tua balita stunting dalam pemberian asupan gizi.

"Dari banyak protein hewani, telurlah yang mudah dicerna, untuk itu kami memberikan asupan protein dari telur untuk keluarga yang berpotensi memiliki anak stunting,” pungkasnya.

Diketahui, kebutuhan normal untuk satu orang balita stunting dalam satu hari yaitu 1 gram per 1 kg berat badan balita. Pihaknya mengajarkan berbagai olahan makanan yang berbahan telur. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya