Headline

Gaikindo membeberkan penyusutan penjualan mobil di Tanah Air.

Perpres Tunjangan Dokter di DTPK Perlu Dikawal Agar tidak Jadi Kebijakan Jangka Pendek 

M Iqbal Al Machmudi
07/8/2025 15:28
Perpres Tunjangan Dokter di DTPK Perlu Dikawal Agar tidak Jadi Kebijakan Jangka Pendek 
Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto.(HUMAS DPR RI)

ANGGOTA Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menilai terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 81 Tahun 2025 tentang Tunjangan Khusus bagi Dokter Spesialis dan Subspesialis di Daerah Tertinggal, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK) sebagai langkah strategis yang selaras dengan amanat Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Namun ia menegaskan, kebijakan ini harus dikawal ketat agar tidak menjadi program populis saja. 

"Pasal 213 dan 218 UU Kesehatan menugaskan negara menjamin akses layanan kesehatan yang adil. Tapi kalau tidak dibarengi sistem distribusi yang kuat dan fasilitas yang memadai, tunjangan ini hanya jadi kebijakan simbolik," kata Edy, Kamis (7/8).

Menurutnya, di daerah tujuan juga harus dilengkapi dengan fasilitas dan alat kesehatan yang dapat menunjang pemeriksaan medis. Jaminan keamanan  dan hukum juga harus didapatkan dokter di DTPK. 

Perpres ini memberikan tunjangan sebesar Rp30.012.000 per bulan kepada sekitar 1.100 dokter spesialis dan subspesialis yang bertugas di wilayah DTPK. Jika ini direalisasikan, maka dalam setahun setidaknya pemerintah mengeluarkan anggaran sekitar Rp 4 triliun. Menurut Edy, ini adalah investasi yang baik. 

"Masyarakat bisa menikmmati pemerataan kesehatan, diharapkan juga biaya kesehatan di DTPK bisa ditekan karena pemerataan dokter,” ungkap Politisi PDI Perjuangan ini. 

Terkait anggaran ini, Edy mendorong agar pendanaan untuk tunjangan harus berasal dari APBN. Dia tidak ingin ada beban untuk daerah karena masing-masing daerah memiliki kekuatan fiskal yang berbeda. Legiselator dari Dapil Jawa Tengah III ini khawatir jika dibebankan daerah maka tunjangan yang diberikan ke dokter akan berbeda-beda. 

"Harus ada kepastian pembiayaan lewat APBN agar penempatan dokter spesialis bisa berkelanjutan dan tidak angin-anginan," tambah Edy.

Diketahui Komisi IX DPR RI telah membahas perihal tunjangan dokter spesialis tersebut bersama Kementerian Kesehatan, termasuk dalam konteks pemenuhan kebutuhan layanan KJSU (Kanker, Jantung, Stroke, dan Uronefrologi) yang jadi prioritas nasional. Dia menekankan bahwa penempatan dokter harus selaras dengan tersedianya alat kesehatan dan teknologi pendukung.

"Dokter spesialis tidak bisa bekerja maksimal kalau hanya dibekali stetoskop. Pemerintah harus menjamin tersedianya peralatan medis sesuai kebutuhan layanan spesialis. Jangan sampai ditempatkan, tapi tak bisa berbuat apa-apa,” ujar Edy. 

Lebih lanjut, ia juga menyoroti pentingnya perlindungan hukum dan jaminan keselamatan kerja bagi dokter yang ditempatkan di daerah dengan keterbatasan fasilitas dan risiko tinggi. Edy meminta agar Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan dilibatkan sebagai bagian dari sistem perlindungan tenaga medis. 

“Jangan sampai karena alat tidak lengkap atau kondisi darurat, dokter disalahkan. Mereka butuh perlindungan hukum dan profesional yang jelas,” tegasnya.

Jika kebijakan ini dilaksanakan secara serius, konsisten, dan terintegrasi, maka akan menjadi langkah nyata menuju Universal Health Coverage (UHC) yang sesungguhnya. Maksudnya, layanan kesehatan yang bisa diakses semua warga, di mana pun mereka tinggal. 

“UHC itu tidak cukup hanya dengan kepesertaan BPJS Kesehatan. UHC baru akan terwujud jika dokter spesialis hadir di setiap daerah, termasuk pelosok dan perbatasan. Pemerataan layanan tidak mungkin terjadi tanpa pemerataan tenaga kesehatan,” pungkasnya. (H-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Denny parsaulian
Berita Lainnya