Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Presiden Jokowi: Penanganan Stunting Dimulai dari Calon Pengantin

Ferdian Ananda Majni
24/3/2022 11:15
Presiden Jokowi: Penanganan Stunting Dimulai dari Calon Pengantin
STUNTING: Kader Posyandu mengukur panjang balita untuk mendeteksi stunting pada balita di Kantor Kelurahan Naibonat, Kabupaten Kupang, NTT.(MI/ Palce Amalo)

PRESIDEN Joko Widodo menyampaikan bahwa program percepatan penurunan stunting di daerah tidak hanya penanganan persoalan gizi anak tetapi juga harus dimulai dari calon pengantin.

"Hari ini saya berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur di Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam rangka program perbaikan untuk stunting. Kita harapkan, saya lihat tadi di lapangan memang stunting ini tidak hanya urusan gizi anak tetapi dimulai dari calon pengantin," kata Jokowi di Desa Kesetnana Kecamatan Mollo Selatan, Soe, Nusa Tenggara Timur, Kamis (24/3).

Jokowi menambahkan penurunan stunting memang harus disiapkan sejak dini bagi calon pengantin agar mereka tahu apa yang harus dilakukan sebelum nanti menikah dan sebelum hamil. "Jadi (pengantin) ngerti betul apa yang harus dilakukan karena belum tentu semua pengantin itu tahu meskipun punya uang banyak tetapi kalau ngak tahu apa yang harus dilakukan dan disiapkan akan menjadi keliru juga. Sehingga ini perlu pendampingan calon-calon pengantin agar setelah menikah itu bisa tahu apa yang harus dilakukan berkaitan dengan gizi anak," ujarnya.

Presiden juga menegaskan telah memerintahkan kepada kepala daerah untuk melakukan intervensi terhadap gizi anak yang stunting agar target penurunan stunting 14% di 2024 tercapai. Intervensi terhadap sanitasi juga penting.

"Kita tidak hanya mengintervensi urusan pemberian makanan tambahan, kemudian gizi anak. Tetapi hari ini juga melihat langsung di lapangan, rumah-rumah yang kita tahu rata-rata memang yang stunting itu tinggal di rumah yang tidak layak huni dan ini juga akan kita intervensi," sebutnya.

Oleh karena itu, upaya intervensi terpadu penting dalam penurunan stunting khususnya di wilayah NTT. Begitu juga pemerintah kabupaten/ kota dan pemerintah pusat, serta seluruh masyarakat bisa mencapai target di bahwa 14% tahun 2024 mendatang.

"Saya kira kalau intervensinya terpadu, termasuk juga urusan air di NTT. Ini urusan air bukan perkara yang mudah, itu juga dikerjakan, terpadu, semuanya itu akan menyebabkan target 14% itu tercapai. Tanpa kerja terpadu saya kira sangat sulit mencapai target yang telah kita targetkan," lanjutnya.

Hari ini Presiden Joko Widodo mengunjungi Desa Kesetnana Kecamatan Mollo Selatan, Soe, Nusa Tenggara Timur karena termasuk desa yang beresiko stunting. Selain warga kesulitan mendapatkan akses air bersih, faktor ekonomi dan rendahnya pendidikan menjadi potensi keawaman terhadap kesehatan. Hampir sebagian besar warga Desa Kesetnana tidak memiliki jamban yang layak.

Desa Kesetnana menjadi gambaran umum dari 278 desa yang ada di Kabupaten Timor Tengah Selatan yang memiliki prevalensi stunting yang tinggi. Bahkan angka prevalensi stunting di Kabupaten Timor Tengah Selatan menurut Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 mencapai 48,3%, paling tinggi di Nusa Tenggara Timur bahkan di Indonesia sekalipun.

Dipilihnya Timor Tengah Selatan dan Nusa Tenggara Timur pada umumnya dalam kunjungan Presiden Joko Widodo kali ini memperlihatkan perhatian penuh untuk penanganan persoalan angka stunting yang tinggi. Berdasarkan data SSGI 2021, NTT masih memiliki 15 kabupaten berkategori merah. Pengkategorian status merah tersebut berdasarkan prevalensi stuntingnya masih di atas 30%.

Adapun 15 kabupaten tersebut adalah Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Belu, Manggarai Barat, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata dan Malaka. Bersama Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara juga memiliki prevalensi di atas 46%.

Sementara sisanya, 7 kabupaten dan kota berstatus kuning dengan prevalensi 20% hingga 30%, diantaranya Ngada, Sumba Timur, Negekeo, Ende, Sikka, Kota Kupang serta Flores Timur. Bahkan tiga daerah seperti Ngada, Sumba Timur dan Negekeo mendekati status merah.

Tidak ada satupun daerah di NTT yang berstatus hijau yakni berpravelensi stunting antara 10 hingga 20%. Apalagi berstatus biru untuk prevalensi stunting di bawah 10%.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang ditunjuk sebagai Ketua Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting berdasarkan Perpres Nomor 72/2021 membutuhkan kolaborasi dengan semua pihak. Demikian pula halnya Kabupaten Timor Tengah Selatan tidak bisa berjuang sendiri untuk mengatasi pengentasan stunting.

“Sebagai salah satu unsur pentaheliks dalam wujud kovergensi percepatan penurunan stunting, mitra kerja memiliki peran dan kontribusi bersama pemerintah. Timor Tengah dan NTT sengaja menjadi titik tumpu kunjungan Presiden Joko Widodo mengingat NTT merupakan provinsi prioritas penanganan stunting dengan prevalensi 37,8% di tahun 2021, tertinggi dari angka rata-rata prevalensi stunting semua pronsi di tanah air yang mencapai 24,4%,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo.

Menurut Hasto  tingginya stunting di di NTT bukan hanya persoalan kesehatan dan kekurangan gizi tetapi juga karena kesulitan mendapatkan akses fasilitas pelayanan kesehatan. Faktor kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan serta pola asuh yang salah turut menyumbang tingginya angka prevalensi stunting.

"Langkah kongkret yang diperlukan untuk mempercepat penurunan angka stunting adalah pelibatan mitra kerja untuk memperluas jangkauan intervensi sesuai sesuai dengan kebutuhan sasaran dan potensi yang dimiliki mitra kerja," pungkasnya.(H-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono
Berita Lainnya