Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Pandemi Hambat Penurunan Stunting

M. Ilham Ramadhan Avisena
23/8/2021 13:46
Pandemi Hambat Penurunan Stunting
Petugas menimbang berat badan seorang anak Posyandu di Desa Topore Kecamatan Papalang, Mamuju, Sulawesi Barat, Senin (12/4/2021)(ANTARA/AKBAR TADO)

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti mengatakan, pandemi covid-19 telah menghambat kegiatan pencegahan-pencegahan stunting yang sedang diupayakan pemerintah. Itu karena adanya keharusan untuk menjaga jarak guna menhindari virus tersebut.

"Terganggunya layanan kepada masyarakat akibat social and physical distancing, posyandu ibu hamil, akses penduduk miskin terhadap pangan karena hambatan produksi atau distribusi, penurunan atau kehilangan pendapatan yang berdampak pada pendapatan rumah tangga, khususnya miskin dan rentan dalam memenuhi kebutuhan pangan bergizi," ujarnya dalam Rapat Koordinasi Nasional Bergerak Bersama untuk Percepatan Penurunan Stunting, Senin (23/8).

Data pada 2019, kata Astera, menunjukkan angka prevalensi stunting di Indonesia telah mengalami penurunan secara substansial menjadi 27,7%. Dalam hal ini, lebih rendah dibandingkan pada tahun 2013 sebesar 37,2%.

Baca juga:  Angka Stunting Sejumlah Daerah Masih di Atas Rata-Rata Nasional

Penurunan tersebut terjadi lantaran isu stunting telah menjadi prioritas nasional dan dituangkan dalam 5 pilar strategi nasional percepatan pencegahan stunting melalui pendekatan multisektor dan intervensi terintegrasi. Hal itu mencakup intervensi gizi spesifik yaitu tablet tambah darah untuk ibu hamil dan remaja serta imunisasi dan intervensi sensitif yaitu air bersih, sanitasi dan bantuan pangan pada sasaran prioritas yaitu ibu hami dan anak usia 0-2, atau rumah tangga seribu hari pertama kehidupan.

Namun demikian, imbuh Astera, penurunan angka prevalensi stunting Indonesia masih menunjukkan persentase yang cukup tinggi. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan angka prevalensi stunting dunia 2020 yaitu 22%. Sedangkan di kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada di peringkat kedua setelah Kamboja.

Stunting juga erat kaitannya dengan tingkat kemiskinan. Pada Maret 2021, BPS mencatat presentase kemiskinan sebesar 10,14%, meski sedikit menurun dibandingkan September 2020, namun kita perlu mewaspadai peningkatan kasus covid-19 di bulan Juli tahun ini.

"Hal ini menjadi warning bagi pemerintah mengingat kemiskinan merupakan faktor penting penyebab terjadinya stunting pada anak balita. Rumah tangga yang miskin tidak dapat memenuhi asupan gizi untuk anaknya sehingga anak tersebut berpotensi menjadi stunting," kata Astera.

Baca juga: BKKBN Tekankan Penajaman Penanganan Stunting dari Hulu

Untuk menangani dan memitigasi stunting, diperlukan koordinasi dan sinergi yang kuat dari semua pihak. Itu dapat dilakukan seiring dengan penguatan komitmen dalam pelaksanaan penurunan stunting melalui peningkatan kualitas dan efektivitas program, peningkatkan cakupan dan kualitas pangan, serta perlindungan sosial yang berkontribusi terhadap penurunan stunting.

Astera mengatakan, pemerintah telah memberikan dukungan pendanaan untuk mencegah stunting, baik melalui mekanisme belanja K/L maupun melalui mekanisme transfer ke daerah dan dana desa (TKDD). Pada 2020, belanja APBN untuk K/L dialokasikan terutama untuk 20 K/L yang bertanggung awab untuk mencapai 86 output dalam rangka mendukung penurunan stunting di 260 kabupaten/kota.

Alokasi belanja K/L terkait stunting pada APBN 2020 mengalami peningkatan, semula dianggarkan Rp27,5 triliun meningkat menjadi Rp39,8 triliun. rinciannya Rp1,4 triliun untuk intervensi spesifik, Rp37,9 triliun untuk intervensi sensitif serta Rp0,5 triliun untuk dukungan dan koordinasi.

"Diharapkan anggaran yang besar ini akan menghasilkan dampak dan manfaat yang besar pula, yaitu memitigasi risiko anak-anak Indonesia dari bahaya stunting," kata Astera.

"Ada pun pendanaan yang diberikan melalui TKDD pada APBN 2020 terkait penanggulangan stunting dilakukan dengan mengalokasikan DAK Fisik sebesar Rp1,9 triliun dengan realisasi Rp1,8 triliun untuk bidang air minum, kesehatan, dan sanitasi. Selain itu dialokasikan pula DAK nonfisik sebesar Rp2,7 triliun dan memiliki realisasi dengan nilai sama untuk bantuan operasional kesehatan stunting dan bantuan operasional keluarga berencana," sambungnya.

 Sementara itu, di 2021 pagu awal belanja untuk K/L dialokasikan sebesar Rp32,98 triliun sebagai dukungan anggaran untuk pencegahan stunting. "Apabila kita lihat dari TKDD, selain dari penambahan alokasi anggaran DAK Fisik, menjadi sebesar Rp7,35 triliun, dukungan pencegahan stunting juga makin diperluas dengan menambah bidang lingkungan hidup untuk DAK Fisik," terang Astera.

Baca juga: Menkes Optimistis Target Penurunan Stunting pada 2024 Tercapai

Di samping itu, lanjutnya, anggaran DAK non Fisik dialokasikan sebesar Rp4,1 triliun, serta terdapat pula penambahan jenis ketahanan pangan, serta bantuan operasional penyelenggaraan PAUD untuk DAK non Fisik sebagai dukungan pencegahan stunting.

Adapun dukungan dari DID dalam pelaksanaan stunting dilakukan sejak 2018 dengan memasukan variabel stunting dalam perhitungan formula pemberian DID. Dalam rentang waktu 2018-2021, pemerintah telah mengalokasikan DID untuk kategori stunting sebesar Rp3,84 triliun.

Astera menambahkan, pada 2022, pemerintah akan melanjutkan kebijakan dalam percepatan penurunan stunting untuk mencapai target prevalensi stunting sebesar 18,4% dengan arah kebijakan yaitu, pertama, penajaman sasaran prioritas untuk ibu hamil, ibu menyusui, dan anak usia 0-23 bulan, dan sasaran penting anak usia 24-59 bulan, wanita usia subur, remaja puteri dan calon pengantin.

Kedua, perluasan lokus prioritas hingga seluruh kabupaten/kota di Indonesia, terdiri dari 514 kabupaten/kota. Ketiga, penguatan regulasi kelembagaan stunting melalui Perpres Percepatan Penurunan Stunting. Keempat, penguatan implementasi konvergensi program di lapangan melalui penguatan peran BKKBN selaku koordinator pelaksana lapangan hingga ke level desa dan rumah tangga prioritas. Kelima, penajaman intervensi gizi spesifik dan sensitif.

"Kebijakan 2022 tersebut didukung penyediaan basis data yang terintegrasi. Dukungan TKDD untuk tahun anggaran 2022 ditujukan untuk mempercepat penurunan prevalensi balita stunting yang dilakukan melalui intervensi spesifik dan sensitif dalam DAK Fisik bidang kesehatan dan keluarga berencana," pungkas Astera. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : HUMANIORA
Berita Lainnya