Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Masyarakat Adat Desak Menteri LHK Cabut Izin Konsensi PT TPL

Apul Iskandar
14/6/2021 08:55
Masyarakat Adat Desak Menteri LHK Cabut Izin Konsensi PT TPL
Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar saat berdialog dengan tujuh komunitas masyarakat adat di Parapat, Sumut (13/6)(MI/Apul Sianturi)

TUJUH perwakilan komunitas masyarakat adat dari Tano Batak  didampingi Kelompok Studi dan Pengembangan Prakasa Masyarakat (KSPPM) dan Aliansi Masyarakat Nusantara (AMAN) Tano Batak menggelar pertemuan dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya Bakar di Hotel KHAS Parapat Kabupaten Simalungun Sumatra Utara, Minggu (13/6).

Pertemuan tersebut digagas langsung oleh Menteri KLHK Siti Nurbaya yang juga turut dihadiri oleh para pejabat dari jajaran eselon I dan beberapa Direktur di instansi KLHK.

Dalam pertemuan tersebut, Direktur KSPPM Delima Silalahi menyampaikan terimakasih kepada Menteri Siti Nurbaya beserta seluruh jajaran KLHK yang telah memberikan ruang bagi masyarakat adat dan masyarakat sipil untuk menyampaikan secara langsung persoalan yang dihadapi dalam 30 tahun terakhir Di Tano Batak terkait dengan konflik agraria, dampaknya terhadap masyarakat adat dan kerusakan lingkungan.

"Hadir dalam pertemuan ini, perwakilan 23 komunitas masyarakat adat yang sedang menghadapi konflik agraria, yang disebabkan oleh adanya klaim Kawasan Hutan Negara di wilayah adat mereka. Ada yang berkonflik dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL), ada yang bersinggungan dengan Proyek strategis Nasional Pariwisata dan juga Program Food Estate," kata Delima dalam keterangan tertulisnya, Senin (14/6).

Delima menjelaskan, sejak 2016 telah beberapa kali melakukan pertemuan dengan Menteri Siti Nurbaya beserta jajarannya di KLHK dan selalu merespon dengan baik pengaduan masyarakat adat di Toba, dan memberi harapan bagi masyarakat adat di Toba.

Sayangnya harapan itu memudar ketika di lapangan, konflik tak kunjung selesai malah terus bertambah dari waktu ke waktu. PT TPL tiada henti melakukan operasional di wilayah adat yang menimbulkan banyak konflik di wilayah konsesi, melakukan intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat.

"Kami sangat berharap ada hasil dari pertemuan ini, ada upaya serius penyelesaian konflik masyarakat adat dan pengembalian wilayah adat kepada masyarakat adat. Respon yang baik dari KLHK juga kami rasakan dengan telah terbitnya SK Hutan Adat Pandumaan-Sipituhuta pada akhir tahun 2020 lalu. Untuk itu kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bu Siti Nurbaya dan semua tim di KLHK, walaupun SK tersebut juga sampai saat ini menyisakan berbagai polemik yang juga pasti bisa diselesaikan dengan baik," katanya.

Senada dengan Delima Silalahi, Koordinator Studi dan Advokasi KSPPM, Rocky Pasaribu  menyatakan beberapa hal terkait dengan hasil investigasi yang dilakukan KSPPM dengan beberapa jaringan seperti AMAN Tano Batak dan JIKALAHARI bahwa ada dugaan pelanggaran perizinan yang dilakukan oleh PT
TPL di wilayah konsesi.

Ketua BPH AMAN TB Roganda Simanjuntak juga menyampaikan apresiasi kepada Menteri LHK yang telah mengajak masyarakat berdiskusi dengan  harapan menemukan formula baru untuk menyelesaikan konflik di Tano Batak.

"Paling tidak kami meminta kepada Ibu Menteri Siti Nurbaya Bakar agar segera mencabut izin konsesi PT TPL. Kehadiran PT TPL menimbulkan banyak konflik dan kekerasan di Tano Batak," tegasnya.

Selain itu Roganda juga mengungkapkan kasus kriminalisasi yang dialami oleh masyarakat adat Natumingka sekitar Mei 2021 lalu telah dijelaskan dengan gamblang oleh perwakilan masyarakat adat Natumingka, Natal Simanjuntak.

"TPL melakukan kekerasan di wilayah adat kami yang menyebabkan ada 12 orang anggota komunitas yang terluka dan berdarah-darah, makam leluhur kami diobrak abrik dan tanaman kami di rusak. TPL sudah banyak menimbulkan penderitaan buat kami. Kami meminta perusahaan itu ditutup," tegasnya.

Arnold Lumbanbatu, salah seorang perwakilan masyarakat Pandumaan-Sipituhuta menyampaikan bahwa pada 2016 yang lalu perwakilan masyarakat telah bertemu dengan Presiden Joko Widodo dan Menteri LHK Siti Nurbaya di istana negara.

"Dalam pertemuan tersebut Bapak Jokowi memberikan SK Pencadangan Hutan adat kami dengan mengeluarkan dari konsesi PT TPL seluas 5.172 hektar. Pak Jokowi juga berpesan agar kami tidak mengubah fungsi hutan kemenyan, dan itu kami lakukan sampai sekarang. Namun tahun 2020 yang lalu SK Hutan Adat Pandumaan- Sipituhuta terbit hanya seluas 2.393  hektar . Hal ini menyebabkan masalah baru bagi masyarakat, karena tuntutan kami tidak sesuai dengan hasil yang kami terima," jelasnya.

Arnold berharap, SK Hutan Adat yang mereka terima ditinjau ulang sesuai dengan permintaan masyarakat, karena yang tidak masuk dalam SK Hutan Adat tersebut sampai saat ini masih hutan kemenyan yang mereka lestarikan.

Hal senada Eva Junita Lumban Gaol, perwakilan masyarakat adat Pargamanan-Bintang Maria juga menyampaikan keberadaan PT TPL di wilayah adat mereka yang telah menimbulkan konflik horizontal sesama masyarakat.

"PT TPL membuat rusak hubungan keluarga, abang-adik tidak saling sapa akibat pecah belah yang dilakukan PT TPL. Bukan hanya itu, keberadaan konsesi di hutan kemenyan kami juga berdampak pada menurunnya sumber ekonomi masyarakat karena telah banyak pohon kemenyan kami ditebang oleh perusahaan,  tanaman-tanaman kami banyak dirusak oleh binatang yang kehilangan tempat di hutan yang dirusak," tuturnya.

"Belum selesai konflik kami dengan PT TPL, baru baru ini wilayah adat kami telah ditunjuk sebagai area pengembangan Food Estate. Hal ini membuat kekhawatiran bagi masyarakat, karena lokasi yang ditunjuk tersebut adalah hutan kemenyan dan hutan alam. Kami tidak bisa bayangkan jika hutan kami rusak maka kehidupan kami tentu akan terancam, padahal saat ini hutan di Pargamanan-Bintang Maria adalah benteng terakhir hutan alam di Tapanuli," urainya.

Melihat banyaknya persoalan yang ditimbulkan oleh PT TPL di Tano Batak, Tumpak Manalu, salah seorang perwakilan masyarakat adat Tor Nauli juga meminta supaya Menteri KLHK untuk segera mencabut ijin PT TPL dari Tano Batak.

Menanggapi masalah tersebut, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar mengatakan bahwa sejak tahun 2016 KLHK sudah mempelajari berbagai konflik agraria yang terjadi di Danau Toba.

"Proses penyelesaian konflik yang dialami masyarakat adat ini memang tidak mudah karena harus melibatkan banyak pihak, sehingga harus benar-benar dipelajari, dan dalam pertemuan ini kami semua yang ada di sini hanya akan mendengarkan apa yang dialami dan diharapkan oleh masyarakat adat, sehingga segera bisa dilakukan berbabai upaya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi," jelasnya.

Atas lambatnya proses penyelesaian konflik yang terjadi di masyarakat, Menteri Siti meminta maaf dan selanjutnya mengajak KSPPM dan AMAN Tano Batak untuk duduk bersama dan bersinergi menyelesaikannya sehingga masyarakat tidak menunggu lama.

"KLHK harus bekerja sesuai prosedur hukum yang berlaku dan melibatkan banyak pihak. Namun KLHK sudah menyusun beberapa langkah, yang pertama melakukan evaluasi terhadap semua, termasuk  keberadaan TPL dan juga yang lainnya seperti Food Estate. Kedua, Presiden dan KLHK sangat memperhatikan terkait dengan menjaga kelestarian hutan alam. Ketiga, melakukan penangan khusus terkait penyelesaian konflik di Toba dan Kalimantan Tengah supaya cepat selesai dan menjadi model penyelesaian konflik untuk daerah lain. Sehingga ke depan KLHK, KSPPM dan AMAN perlu duduk bersama bersinergi untuk membicarakan model penyelesaian yang saya sampaikan tadi," paparnya. (OL-13)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi
Berita Lainnya