Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Isra Mikraj, Peristiwa Agung dan Bersejarah bagi Umat Islam

Ferdian Ananda Majni
11/3/2021 16:35
Isra Mikraj, Peristiwa Agung dan Bersejarah bagi Umat Islam
Shalat berjamaah di Masjid Istiqlal, Jakarta. Perintah menjalankan shalat lima waktu turun ketika peristiwa Isra Mikraj.(Antara)

PERISTIWA Isra Mikraj sangat rasional dan membawa sejumlah pesan penting bagi semesta. Demikian ditegaskan Imam Masjid di New York, Imam Shamsi Ali yang juga Presiden Nusantara Foundation di Amerika Serikat.

"Saya memulai dengan mengutip ayat yang pepuler tentang Perjalanan suci Rasulullah SAW. Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hambaNya dari masjidil haram ke masjidil Aqsa, yang Kami telah berkahi di sekitarnya. Sesungguhnya Dia (Allah) Maha mendengar lagi Maha melihat" (Al-Isra)," kata Imam Shamsi dalam tulisannya yang dikutip, Kamis (11/3)

Pada umumnya, kata Shamsi, masyarakat awam ketika mendengar kata Isra dan Mikraj hanya berpatokan kepada satu ayat Alquran, Surah Al-Isra atau Surah Bani Israil ayat satu. Mereka gagal memahami bahwa Alquran dalam menyampaikan informasi tentang Al Haq (kebenaran) tidak memakai rentetan ayat per ayat atau surah per surah.

"Justru terkadang sebuah masalah hanya menjadi tuntas jika dipahami secara menyeluruh dan sempurna berdasarkan Alquran dan As-Sunnah," sebutnya.

Penegasannya itu ditujukan pada pihak-pihak yang berusaha mengaburkan, bahkan membangun keraguan tentang peristiwa agung dalam sejarah Islam ini. Bahkan mereka dengan penuh percaya diri (positif) atau penuh keangkuhan (negatif) mengingkari eksistensi Isra Mikraj yang telah menjadi konsensus Umat selama ini.

Pada sisi lain ada juga pihak-pihak yang mencoba merendahkan posisi Sunnah atau hadits-hadits dalam upaya memahami kebenaran. Seolah hadits-hadits karena sekedar diatributkan ke Rasulullah SAW tidak dapat dijadikan sebagai basis kesimpulkan tentang sebuah kebenaran.

"Akibatnya dalam hal Isra Mikraj ada sekolompok manusia yang merasa pintar, kemudian mengingkari kebenarannya. Mereka kemudian memberikan penafsiran-penafsiran seenak hawa nafsunya sendiri berdasarkan analisa otaknya yang sempit. Dengan otak hawa nafsu itu mereka kemudian menafikan kebenaran Isra, apalagi Mikraj," sebutnya

Menurutnya, pemikiran hawa nafsu itu mengatakan bahwa Isra itu sendiri sesungguhnya bukan ke Jerusalem. Tetapi perjalanan Rasulullah SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Aqsa yang dimaksud adalah tempat yang jauh. Sehingga ayat itu dipahami secara terbuka. Bukan secara spesifik Jerusalem. Sebagian memahaminya jika Isra pada ayat itu merujuk kepada perjalanan atau Hijrahnya Rasulullah SAW dari Mekah ke Madinah.

"Pendapat ini batal sekaligus batil dalam banyak hal. Pertama, kalau yang dimaksud adalah Hijrah Rasul, maka saat itu belum ada masjid di Madinah. Justru masjid pertama yang didirikan oleh Rasul di Madinah adalah Masjid Kuba. Kedua hijrah bukan dari masjidil haram awalnya. Tapi dari rumah baginda menuju Gua Tsur lalu ke Madinah," jelasnya.

Mereka kemudian mengingkari eksistensi Mikraj karena menurutnya tidak disebutkan dalam Alquran. Benarkah tidak disebutkan dalam Alquran? Lanjut, Imam Shamsi boleh jadi secara literal tidak disebutkan di mana-mana.

Dengan memahami ayat-ayat yang diketahui ada relevansinya dengan peristiwa ini,  menjadikan para ulama salaf dan khalaf sepakat bahwa yang dimaksud pada ayat-ayat tersebut adalah peristiwa Mikraj (perjalanan ke atas) atau vertikal Rasulullah SAW.

"Mari kita lihat lebih rinci beberapa keraguan orang terhadap Isra dan Mikraj Rasulullah SAW. Baik dari argumentasi rasionalitas, maupun dasar-dasar syari dari Alquran, Sunnah maupun interpretasi para ulama Islam yang mu'tabar (menjadi rujukan Umat)," paparnya.

Pertama, benarkah peristiwa Isra Mikraj ini tidak rasional atau tidak masuk akal? Imam Shamsi menegaskan bahwa ada dua hal yang harus kita bedakan ketika kita bersentuhan dengan sesuatu yang berkaitan dengan rasionalitas manusia. Satu, ada hal-hal yang memang tidak rasional. Kedua, ada juga hal-hal yang sejatinya rasional, hanya saja akal manusia tidak mampu memahaminya.

"Yang pertama adalah hal-hal yang memang secara sederhana dipahami oleh akal. Ambillah sebagai misal 1+1=2. Akal memahaminya secara pasti tanpa penafsiran. Tapi ketika 1+1+1 dipaksakan sama dengan 1, lalu dipaksakan menjadi sebuah konsep yang harus diterima sebagai realita umum maka hasilnya terjatuh ke dalam istilah irrational (tidak masuk akal)," terangnya.

Sementara yang kedua adalah hal-hal yang karena tabiatnya memang kompleks, apalagi bersentuhan dengan isu-isu teologis yang ranah dominannya ada pada hati. Hal-Hal seperti itu bukan tidak rasional atau tidak masuk akal. Hanya saja rasionalitas atau akal manusia sangat terbatas memahaminya.

"Ambillah contoh selain Isra Mikraj. Kebangkitan dari kubur misalnya. Kalau saja kita memaksakan diri untuk memahaminya dengan akal tentang bagaimana kebangkitan dari kubur itu, kemungkinan besar manusia akan mengingkarinya atau manusia menjadi gila. Kesimpulannya, kebangkitan itu bukan tidak masuk akal. Hanya saja akal manusia sangat terbatas untuk memahaminya," ungkapnya.

Demikian halnya dengan Isra Mikraj, kata Imam Shamsi bukannya tidak masuk akal. Hanya saja akal manusialah yang terbatas dan tidak mampu memahami segala rincian teknis dari prosesnya.

"Saya kira landasan terbesar dari rasionalitas Isra Mikraj adalah bahwa perjalanan itu memang "aktornya" (pelaku) adalah Allah. Muhammad SAW adalah objek yang diperjalankan. Dan kalau dalam suatu hal Allah sebagai pelaku, apakah hal itu dapat dikategorikan tidak masuk akal?," tuturnya.

Oleh karenanya Isra Mikraj sangat rasional karena Allah yang tidak terbatas kemampuan dan ilmu itu mampu melakukan segala hal yang tidak bertentangan dengan tabiat diriNya sendiri.

Mungkin dalam hal ini ada saja yang mencoba bermain api dan mengatakan bahwa kalau memang Tuhan tidak memiliki batas dalam kemampuan dan ilmu, berarti Tuhan bisa menjadikan diri-Nya dalam wujud manusia?

Jelas ini tidak rasional. Karena kontra terhadap kekuasaan dan tabiatNya Sebagai Tuhan. Bahwa Tuhan itu tidak punya keterbatasan. Tapi di sisi lain Tuhan tidak akan melakukan sesuatu yang justeru menjatuhkan dirinya kepada keterbatasan. Mewujudkan diri-Nya menjadi makhluk berarti menjadikan Allah terbatas. Maka di sini terjadi "self contradictory" atau paradoks dari ketuhanan itu sendiri.

Kedua, benarkah Al-Quran tidak menyebutkan Mikraj sama sekali?

Shamsi menyatakan, kekeliruan para pengingkar Isra Mikraj adalah karena mereka membaca satu ayat Al-Quran tanpa mencoba menelusuri rimba ilmu-ilmu yang ada dalam Al-Quran. Mereka dengan sangat simplistik mengambil kesimpulan tanpa pendalaman. "Maka pada umumnya mereka hanya membaca ayat pertama dari Surah Al-Isra untuk mengambil kesimpulan," pungkasnya.

Padahal jika mereka mencoba mengkaji Al-Quran lebih jauh akan mereka dapati beberapa ayat lain dalam Al-Quran yang sangat relevan dengan peristiwa Mi'raj Rasulullah SAW. Lihat misalnya Surah yang sama (Al-Isra) ayat 12-18.

Allah menegaskan "Maka apakah kamu akan membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya (Jibril dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. Yaitu di sisi Sidratul Muhtaha. Di dekatnya Ada syurga tempat tinggal, (Muhammad melihatnya) ketika di Sidratul Muntaha ditutupi oleh sesuatu yang menutupi. Penglihatannya (Muhammad) tidak menyalahi dari apa yang dilihatnya atau melebih-lebihkan. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda kekuasaan Tuhannya yang besar". (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum
Berita Lainnya