PENGETATAN aturan impor sampah dinilai kian mendesak setelah adanya temuan sampah ilegal hasil importasi di Surabaya dan Batam.
Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya Beracun (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati telah menyampaikan berbagai masukan terkait rencana revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun.
Sejumlah masukan tersebut antara lain revisi pos tarif (HS Code) untuk impor limbah non-B3 agar tidak ada frasa dan lain-lain, sehingga bahan yang diimpor tidak tercampur dengan jenis yang tidak dapat didaur ulang. Kemudian, limbah yang diimpor minimal berupa pellet/chips.
"Semua masukan sudah kami sampaikan," ujarnya dihubungi di Jakarta, Kamis (20/6).
Di lain pihak, peneliti Indonesia Center for Environmental Law Fajri Fadhillah mengatakan revisi Permendag dibutuhkan agar importasi limbah atau sampah untuk bahan baku daur ulang dilakukan dengan benar dan tidak membebani lingkungan dalam negeri.
"Ketentuan jenis limbah yang diizinkan untuk diimpor harus dirumuskan dalam kalimat yg terbatas. Dalam Permendag No 31/2016 masih ada istilah dan lain-lain yang berisiko menimbulkan interpretasi yg luas dan menjadi celah limbah bahan baku impor tercampur," jelasnya.\
Baca juga: Antisipasi Impor Sampah Ilegal Perlu Revisi Aturan
Salah satu sebab masuknya sampah ilegal ditengarai antara lain tidak tegasnya pengaturan dalam Permendag mengenai klasifikasi HS code (kode perdagangan komoditas) yang mencantumkan kata dan lain lain. Hal itu dinilai menjadi celah bagi impor limbah yang diimpor bercampur dengan bahan yang sulit didaur ulang.
Di Jawa Timur, misalnya, organisasi Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) mencatat lebih dari 12 pabrik kertas menggunakan bahan baku sampah kertas impor dari negara lain. Sepuluh negara pengekspor sampah kertas terbanyak ke Jawa Timur ialah Amerika Serikat, Italia, Inggris, Korea Selatan, Australia, Singapura, Yunani, Spanyol, Belanda dan Selandia Baru.
"Temuan hasil investigasi Ecoton menunjukkan impor sampah kertas disusupi oleh kontaminan sampah rumah tangga, khususnya sampah plastik dengan persentase mencapai 35%," kata pendiri Ecoton Prigi Arisandi.
Ia pun mendorong agar Kementerian Perdagangan atau Kementerian Perindustrian bisa mengatur batas kontaminan sampah impor minimal 2%. Dia juga mendorong Bea Cukai agar memeriksa semua kontainer sampah impor yang masuk ke Indonesia dan menempatkannya sebagai komoditas red line yang wajib diperiksa.
"Jika kontaminasi impor limbah itu besar padahal juga merugikan industri," tukas Prigi.(OL-5)