Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
BANK Perekonomian Rakyat, yang disebut BPR, adalah produk perbankan dalam negeri yang secara khusus ditujukan untuk melayani segmen mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta masyarakat di wilayah lokal. BPR berfokus memberikan akses keuangan kepada masyarakat yang sering kali sulit dilayani oleh bank umum karena keterbatasan aksesibilitas atau persyaratan yang kompleks. BPR merupakan lembaga keuangan bank yang memiliki fungsi menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Keunikan BPR terletak pada fokusnya dalam pemberian layanan perbankan skala kecil tanpa menyediakan layanan giro atau sistem pembayaran seperti bank umum, sesuai POJK No. 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat, yang kemudian berdasar POJK menjadi Bank Perekonomian Rakyat.
Berdasarkan peraturan ini, terdapat beberapa karakteristik utama BPR, yaitu fokus pengembangan UMKM dan masyarakat lokal, serta kemudahan dan kecepatan dalam pelayanan jasa perbankan. Dari tahun ke tahun hingga berpuluh-puluh tahun, BPR turut serta membangun negeri dengan mengedepankan pelayanan kepada usaha mikro di tanah air. Namun, tidak sedikit pula BPR yang harus ditutup izinnya oleh OJK karena tata kelola GCG yang kurang baik dan ulah pengurus yang tidak berintegritas.
Di tengah berita tentang banyaknya BPR yang ditutup pada tahun 2024, seperti hujan angin disertai badai petir, muncul pula Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang mengatur tentang Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN). Aturan ini diterbitkan melalui beberapa regulasi, salah satunya adalah POJK Nomor 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum. POJK ini merupakan penyempurnaan dari aturan sebelumnya dan mulai berlaku sejak 31 Desember 2019.
POJK ini mengadopsi standar akuntansi internasional seperti PSAK 71 (IFRS 9), yang menekankan model kerugian ekspektasian (expected credit loss) dalam menghitung CKPN. Aturan ini menggantikan model kerugian yang terjadi (incurred loss model) yang digunakan sebelumnya.
Nilai CKPN untuk Bank Perekonomian Rakyat (BPR) diterbitkan melalui POJK Nomor 1 Tahun 2024 tentang Kualitas Aset Bank Perekonomian Rakyat. Peraturan ini diundangkan pada 11 Januari 2024 dan mulai berlaku pada 1 Januari 2025.
POJK ini merupakan penyempurnaan dari POJK Nomor 33/POJK.03/2018 tentang Kualitas Aset Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif Bank Perekonomian Rakyat, yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak berlakunya POJK Nomor 1 Tahun 2024.
Dengan diberlakukannya POJK ini, BPR diharapkan dapat meningkatkan kualitas aset dan manajemen risiko, serta menyajikan laporan keuangan yang akurat dan sesuai dengan standar akuntansi keuangan terkini.
Masa depan Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dengan penerapan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) menghadirkan peluang dan tantangan yang signifikan. Berikut adalah analisis dampak penerapan CKPN pada masa depan BPR:
Dampak Positif:
Meningkatkan Kesehatan Keuangan: Memperkuat posisi keuangan BPR dan meningkatkan kepercayaan nasabah maupun regulator.
Meningkatkan Transparansi dan Kepatuhan: Menciptakan laporan keuangan yang lebih transparan, meningkatkan reputasi dan daya saing BPR di industri perbankan.
Mendorong Manajemen Risiko yang Lebih Baik: CKPN memaksa BPR untuk lebih proaktif dalam mengevaluasi kualitas aset dan risiko kredit. Pendekatan ini dapat mendorong peningkatan tata kelola (governance) dan pengelolaan risiko.
Meningkatkan Kepercayaan Investor: Dengan pengelolaan risiko yang lebih baik, BPR menjadi lebih menarik bagi investor potensial, yang dapat mendorong pertumbuhan modal dan ekspansi bisnis.
Dampak Negatif:
Tekanan pada Profitabilitas: Pembentukan CKPN yang besar, terutama untuk kredit bermasalah, dapat membebani laba BPR. Hal ini dapat mempengaruhi kemampuan BPR untuk berkembang, terutama jika NPL tinggi.
Keterbatasan Sumber Daya: Mengimplementasikan metode penghitungan CKPN berbasis expected credit loss membutuhkan investasi besar dalam sistem dan pelatihan.
Kompetisi yang Semakin Ketat: BPR harus bersaing dengan bank umum dan fintech yang lebih gesit. Pengelolaan CKPN yang tidak efisien bisa melemahkan daya saing mereka.
Risiko Likuiditas: Jika CKPN yang harus dibentuk besar, ini dapat mengurangi modal dan likuiditas BPR, sehingga membatasi kemampuannya untuk memberikan kredit baru.
Strategi Menghadapi Dampak Negatif CKPN:
Optimalkan Manajemen Kredit: Tingkatkan analisis risiko kredit untuk mengurangi kebutuhan CKPN.
Diversifikasi Pendapatan: Kembangkan produk atau layanan lain untuk menambah pendapatan non-bunga.
Digitalisasi Proses: Adopsi teknologi untuk meningkatkan efisiensi.
Kemitraan Strategis: Bekerja sama dengan fintech dan lembaga lain untuk mengelola risiko secara efektif.
Dampak negatif CKPN bagi BPR terutama terjadi pada penurunan laba, tekanan modal, dan peningkatan beban operasional. BPR yang tidak siap menghadapi kebijakan ini berisiko kehilangan daya saing. Oleh karena itu, kesiapan dalam hal teknologi, manajemen risiko, dan strategi operasional menjadi kunci bagi BPR untuk tetap bertahan dan berkembang di tengah regulasi yang semakin ketat.
Jadi, Masa Depan BPR Bersama CKPN (Cadangan Kerugian Penurunan Nilai) memiliki beberapa implikasi terhadap masa depan BPR: Meskipun CKPN menambah tantangan, hal ini juga menjadi peluang bagi BPR untuk meningkatkan profesionalisme, transparansi, dan daya saing di industri keuangan. Adaptasi dan inovasi akan menentukan keberhasilan BPR di masa depan. Semakin terciptanya BPR sebagai produk dalam negeri yang kuat dan semakin profesional dalam mengelola dana masyarakat, serta semakin dapat menunjang pertumbuhan ekonomi di sektor UMKM Indonesia. Penerapan CKPN adalah langkah maju yang penting untuk memperkuat industri BPR dan meningkatkan stabilitas keuangan.
Semangat Maju BPR Indonesia!
<p>Pesan menarik bagi pengusaha UMKM dari pujangga William Shakespeare, yakni 'tiga kalimat untuk menjadi sukses: lebih tahu dari orang lain, kerja lebih dari orang lain,</p>
Risiko Kredit (NPL nett) mencapai rasio tertinggi selama 5 tahun terakhir sebesar 6.51% mengalami kenaikan sebesar 1.28% dibandingkan tahun 2022 (yoy).
Data menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah perempuan yang memulai bisnis selama pandemi, dengan pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kaum pria.
Adanya dugaan aliran dana kampanye itu bersumber dari fasilitas pinjaman BPR di salah satu daerah Jawa Tengah yang mengalir ke Koperasi Garudayaksa Nusantara milik Prabowo.
Praktik tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari transaksi janggal pendanaan kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menguat.
Bank Mandiri kembali jalin kerjasama dengan sejumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) untuk kembangkan digitalisasi.
Ketua DPD Perbarindo DKI Jaya Hendry Palty menyampaikan beberapa agenda kerja atau program yang telah dilaksanakan dan siap dilaksanakan dalam waktu dekat ini.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved