Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Peer Group Data "PAIN KILLER" BPR?

PY Santoso Mahasiswa Program Studi Magister Manajemen Universitas Hayam Wuruk Perbanas Surabaya
07/2/2025 19:45
Peer Group Data
PY Santoso, Mahasiswa Program Studi Magister Manajemen, Universitas Hayam Wuruk Perbanas Surabaya(Doc pribadi)

INDUSTRI Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Indonesia mengalami banyak tantangan dalam beberapa tahun terakhir. Perubahan regulasi, persaingan yang semakin ketat, dan meningkatnya ekspektasi dari nasabah, BPR dituntut untuk beradaptasi dan berinovasi. Pasca Covid 19 Industri BPR belum mampu untuk recovery. Laporan Keuangan OJK 2023 Rasio Profitabilitas (ROA) BPR mencapai rasio terendah dalam 5 tahun terakhir. Tahun 2023 ROA BPR secara sebesar 1% menurun sebesar 0,74% dibandingkan tahun 2022 (yoy) sedangkan posisi tahun 2019 sebesar 2,31%.

Risiko Kredit (NPL nett) mencapai rasio tertinggi selama 5 tahun terakhir sebesar 6.51% mengalami kenaikan sebesar 1.28% dibandingkan tahun 2022 (yoy). Hal ini berbeda dengan kondisi yang dialami oleh Bank Umum. ROA bertumbuh 0,33%, NPL Nett terjaga di angka 0.72%. Kondisi Bank Umum sudah lebih baik dibandingkan saat covid 19 dimana ROA 1,47% dan NPL Nett 1,16%. Perbedaan antara Bank Umum Konvensional dan BPR tentunya sesuai dengan karakteristik BPR dimana sebagian besar nasabah yang dilayani adalah UMKM. Pelaku UMKM sampai dengan saat ini masih merasakan dampak dengan adanya Covid 19. Pemilihan pelayanan kepada pelaku UMKM juga tidak terlepas dari prinsip "high risk, high return".

Tahun 2024 adalah tahun yang sangat berat bagi BPR di Indonesia. Tanggal 31 Desember 2024 adalah batas akhir penerapan Peraturan OJK No. 5/POJK 03/2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum BPR dimana Modal Inti Minimum BPR harus Rp 6 miliar. Biro Riset Infobank, mencatat masih ada 314 BPR/BPRS yang modalnya di bawah Rp 6 miliar. Tahun 2024 juga mencatatkan rekor dengan ditutupnya 20 BPR/BPRS.

Menurut LPS selama ini rata-rata penutupan BPR/BPRS hanya 6 sampai dengan 7 tiap tahun. Belum selesai dengan itu tantangan baru muncul pada tanggal 01 Januari 2025 dimana mulai diterapkan POJK No. 1 tahun 2024 Tentang Kualitas Aset BPR. BPR harus merubah pencadangan risiko dari PPKA (Penyisihan Penilaian Kualitas Aset) menjadi CKPN (Cadangan Kerugian Penurunan Nilai) sebagai bagian dari penerapan SAK EP (Standar Akuntansi Entitas Privat). SAK EP dipergunakan sebagai pengganti dari SAK ETAP (Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik yang berlaku sejak 1 Januari 2010.

Kriteria penilaian PPKA hanya berfokus pada kualitas kredit dan jenis agunan yang dapat menjadi pengurang PPKA (one size fits for all) sedangkan kriteria penilaian CKPN berfokus pada kebutuhan kecukupan pencadangan berdasarkan credit risk (not one size fits for all). DPP Perbarindo telah melakukan riset dengan mengambil data dari 759 dari BPR seluruh Indonesia dimana hasil kajiannya menyatakan bahwa CKPN berdampak negatif signifikan terhadap ROA.

Hal ini menunjukkan bahwa profitabilitas BPR mengalami tekanan yang besar akibat penerapan CKPN, yang berdampak negatif juga terhadap Modal Inti. Diperkirakan 200 sampai dengan 400 BPR yang akan mengalami penurunan modal inti minimum dibawah Rp. 6M atau disekitar 28,46%. Implikasi dari penurunan modal inti BPR akan berdampak terhadap pemenuhan rasio kecukupan modal (CAR) dan dalam jangka panjang berpengaruh terhadap operasional BPR karena daya tahan dan daya saing BPR menjadi lemah.

Melihat kondisi tersebut, OJK mengeluarkan sebuah program relaksasi dimana bagi BPR yang memenuhi ketentuan yaitu a). Core Banking belum siap mendukung perhitungan CKPN, b). Penerapan pembentukan CKPN berdampak signifikan pada aspek permodalan khususnya pemenuhan modal inti dan penurunan rasio KPMM, dan/atau c.) BPR sedang dalam proses penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan dalam rangka konsolidasi maka BPR harus mengajukan surat permohonan kepada OJK dan sebagai pengganti perhitungan CKPN akan digunakan tarif dari Peer Group Data yang besarannya ditentukan oleh OJK maksimal selama 2 tahun sampai atau dengan akhir tahun 2026.

Apabila dalam rentang masa tersebut BPR sudah dinilai mampu menjalankan CKPN maka tidak harus menunggu sampai akhir tahun 2026 untuk kembali melaksanakan CKPN sesuai ketentuan.

Hasil akhir dari peer group data tentunya tidak akan lebih rendah dari PPKA namun tidak lebih tinggi dari CKPN tentunya. Hal ini berdasarkan kondisi riil kualitas kredit yang turun mulai tahun 2019 bahkan sampai posisi September 2024. BPR membukukan NPL Gross di September 2024 sebesar 11,73% dari 10,05% di September 2023.

Migrasi aset dari lancar ke kualitas dibawahnya menjadi bagian terpenting dalam perhitungan tarif. Faktor lain adalah penentuan time frame penarikan datanya. Apakah 3 tahun, 5 tahun atau bahkan 10 tahun terakhir ? Sangat menarik untuk ditunggu adalah penentuan titik posisi peer group data diantara PPKA dan CKPN, apakah akan condong ke kiri ke arah PPKA atau bahkan condong ke kanan ke arah CKPN ?

Peer group data memiliki potensi besar untuk menjadi "pain killer" bagi BPR, dalam pengelolaan CKPN dan penerapan SAK EP. Ada tantangan yang harus dihadapi, ada pula manfaat yang diperoleh. Dengan memanfaatkan program ini, BPR memiliki nafas lebih panjang secara operasional, meningkatkan pemahaman tentang manajemen risiko, dan compliance terhadap standar akuntansi yang berlaku. Tersedia waktu 2 tahun untuk sampai dengan garis finish penerapan CKPN di tahun 2026.

Namun yang harus disadari bersama bahwa peer group data bukanlah obat dari sakitnya industri ini. Apabila masa reaksinya sudah berakhir maka sakit itu akan kembali dirasakan bahkan ada kemungkinan lebih parah. Harus dipikirkan langkah terbaik yang bisa ditempuh oleh Pemerintah, OJK, Asosiasi dan dan para pelaku industri BPR dengan dengan tujuan akhir adalah industri ini kembali sehat. "The best way out is always through."-Robert Frost (Z-12)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Reynaldi
Berita Lainnya