Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Terperosok Naluri Unjuk Massa

Sri Utami
26/9/2020 07:58
Terperosok Naluri Unjuk Massa
Sejumlah pendukung salah satu pasangan bakal calon kepala daerah melakukan konvoi di Makassar di Sulawesi Selatan, Jumat (4/9).(ANTARA/ABRIAWAN ABHE)

PERHELATAN Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 yang puncaknya digelar pada 9 Desember melewati sandungan besar pertama sejak penetapan penundaan dari jadwal semula 23 September 2020. Tahapan pendaftaran bakal pasangan calon (bapaslon) kepala daerah pada 4-6 September lalu diwarnai maraknya pelanggaran protokol kesehatan.

Berdasarkan catatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, tidak kurang dari 243 bapaslon ditemukan melanggar. Jumlah itu mencakup sepertiga dari total 735 bapaslon.

Pelanggaran terutama didominasi arak-arakan maupun kerumunan pendukung yang mengiringi pendaftaran bapaslon. Itu belum termasuk mobilisasi massa yang dilakukan secara sporadis sebelum masa pendaftaran.

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Viryan Azis mengungkapkan, dari pengamatannya meninjau persiapan pilkada di berbagai daerah, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan masih kurang. Akibatnya, peringatan penyelenggara pemilu agar bapaslon tidak membawa iringan pendukung saat mendaftar tidak digubris.

“Peristiwa itu membuat syok semua orang,” sebut Viryan tentang maraknya arak-arakan tersebut.

Viryan mengakui mobilisasi massa memang merupakan budaya demokrasi di Indonesia. Tidak mudah mengubahnya kendati penyelenggara pemilu sudah mengingatkan.

Namun, Ketua Presidium Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jojo Rohi menyebut pelanggar an yang cukup masif menunjukkan buruknya etika para bakal calon. Keteladanan yang rendah para calon dari berbagai partai tersebut sama artinya dengan menciptakan demokrasi semu.

“Soal menggunakan kerumunan massa, hal itu adalah komunikasi politik kita yang di dalamnya ada naluri purba yakni menunjukkan power terhadap lawan. Jadi ada naluri show off yang dibawa ke sana,” jelasnya.

Cara itu diakuinya efektif dalam komunikasi politik, tapi tidak bisa diingkari komunikasi tersebut sudah sangat ketinggalan, khususnya dalam kondisi pandemi covid-19 seperti sekarang ini.

“Ini cara yang sudah sangat ketinggalan zaman, tapi metode ini masih dipakai sebagai komunikasi politik. Ini berbahaya dengan kondisi sekarang,” cetus Jojo.

Rendahnya sikap teladan dan etika kepada publik juga menandakan gagalnya mesin pengaderan partai. Hal ini juga terbukti dari adanya partai yang tidak mengusung kadernya.

“Padahal partai itu surplus kader dan parpol sebagai lembaga kader, tapi justru mengusung orang lain yang bukan dari partainya. Ini indikasi partai gagal mengader,” ujar Jojo.

Gagap

Bukan hanya bapaslon dan masyarakat, peneliti Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik Pratama menilai pelanggaran protokol juga merupakan tanggung jawab aparat dan penyelenggara pemilu.

Heroik berpendapat koordinasi antara penyelenggara pilkada, pemerintah daerah, dan aparat keamanan dalam penerapan protokol kesehatan sangat kurang. Ia pun mendorong ada tindakan tegas kepada semua yang terbukti melakukan pelanggaran atau abai terhadap penerapan protokol tersebut.

“Pemerintah daerah, TNI, Polri, Satuan Polisi Pamong Praja, penyelenggara pemilu, harusnya ikut serta dan menindak orang-orang yang membuat kerumunan yang melanggar protokol kesehatan,” tuturnya.

Senada, peneliti Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Aditya Perdana mengatakan, ketika pemerintah, DPR RI, KPU RI, dan Bawaslu optimistis pelaksanaan pemungutan suara Pilkada Serentak 9 Desember 2020 dapat
terwujud, seharusnya mitigasi pun benar-benar siap.

Celah-celah pengabaian terhadap protokol kesehatan di tengah pandemi covid-19 semestinya diantisipasi. Akan tetapi, kenyataannya baik KPU, Bawaslu, maupun aparat keamanan gagap menghadapi situasi tersebut.

“Kita melihat secara jelas ada potensi pelanggaran yang dilakukan para peserta pilkada secara terang-terangan, terutama pengabaian protokol covid-19. Pedoman yang ada di peraturan KPU yang menjadi acuan bersama, tapi tidak bisa dilakukan dengan baik,” tutur Aditya.

Ia mengingatkan penyelenggaraan pilkada jangan sampai mengorbankan rakyat. Aparat semestinya menindak dengan tegas setiap pelanggaran.

Indikator pilihan

Aditya menekankan, dibutuhkan komitmen dan tindakan konret bersama khususnya dari pasangan calon dan penyelenggara pemilu untuk menjaga disiplin mematuhi protokol. Bahkan masyarakat dapat menjadikan hal tersebut sebagai indikator memilih kepala daerah.

“Jangan segan memilih calon yang komit dan terapkan protokol kesehatan,” ucap Aditya.

Gemas menyaksikan perilaku para bapaslon yang melanggar protokol kesehatan, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar pun meminta masyarakat kritis menilai bapaslon yang tidak menghiraukan protokol kesehatan.

Imbauan itu khususnya ditujukan kepada pemilih di 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada seren-tak. “Keselamatan warga negara di atas segalanya,” tegas Bahtiar.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sempat pula mengusulkan agar pandemi covid-19 menjadi tema sentral dalam debat peserta pilkada serentak. Gagasan upaya penanganan pandemi dapat menjadi tolok masyarakat dalam menilai calon pemimpinnya.

Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan hal itu boleh saja diterapkan. Asalkan, tema covid-19 tidak menyampingkan isu lain yang menjadi masalah di tiap daerah yang tentunya bisa berbeda antardaerah. (Cah/Ind/Ant/P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya