Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Industri Tembakau Tertekan, Serikat Pekerja Serukan Moratorium Cukai

Despian Nurhidayat
28/5/2025 00:13
Industri Tembakau Tertekan, Serikat Pekerja Serukan Moratorium Cukai
Ilustrasi(ANTARA/SISWOWIDODO)

Seiring pelemahan ekonomi lokal dan dinamika ekonomi global, tekanan terhadap sektor padat karya, khususnya pada industri hasil tembakau makin nyata. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada kuartal I/2025, industri pengolahan tembakau mengalami kontraksi terdalam sebesar -3,77% year-on-year (yoy), berbanding terbalik dengan pertumbuhan positif 7,63% pada periode yang sama tahun lalu. Di tengah situasi ini, seruan agar pemerintah menunda kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) selama tiga tahun ke depan (moratorium) menguat.

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM SPSI), Sudarto AS, mengatakan tidak adanya kenaikan CHT selama tiga tahun ke depan penting dilakukan untuk menyelamatkan industri padat karya sebagai industri srategis dengan mata rantai yang panjang. Apalagi selama ini industri hasil tembakau (IHT) melibatkan petani, produsen, ritel, serta sektor penunjang lainnya dengan serapan tenaga kerja yang besar. 

Menurutnya, kebijakan fiskal yang terlalu agresif, khususnya dalam bentuk kenaikan cukai, telah berdampak langsung pada kinerja industri padat karya dan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor ini. "Di situasi ekonomi yang stagnan bahkan melemah dan PHK besar-besaran, otomatis  daya beli ikut stagnan, bahkan menurun, harga rokok sudah tinggi dan mahal, serta peredaran rokok ilegal meningkat," ungkapnya dilansir dari keterangan resmi, Selasa (27/5). 

Sudarto menekankan bahwa kebijakan fiskal yang tidak tepat dapat berdampak pada IHT sebagai sektor padat karya strategis, khususnya berdampak langsung pada penyerapan tenaga kerja dan keberlangsungan industri domestik. Maka dari itu, ia menyerukan pengkajian deregulasi dan revitalisasi kebijakan untuk sektor ini.

"Perlu dilakukan deregulasi dan revitalisasi, khususnya untuk industri padat karya,” tegasnya.

Sudarto juga mengkritisi kebijakan pemerintah yang dinilai tidak konsisten dalam memberikan perlindungan kepada pekerja sektor makanan, minuman, dan tembakau. Salah satu contohnya adalah tidak dimasukkannya pekerja sektor ini dalam skema insentif pajak PPh 21 padat karya seperti tertuang dalam PMK No.10/2025.

“Kebijakannya tidak konsisten dan berubah-ubah, bahkan PMK No. 10/2025 terkait insentif PPh 21, pekerja mamin dan tembakau didiskriminasi, tidak termasuk pekerja padat karya yang mendapatkan insentif,” ungkapnya.

FSP RTMM-SPSI meyakini, jika tidak ada kenaikan CHT selama tiga tahun ke depan, maka IHT dapat menjadi salah satu pendorong pemulihan ekonomi nasional. “IHT adalah industri padat karya, dan dominan menggunakan bahan baku Indonesia, tentunya sektor ini akan sangat membantu pemulihan ekonomi nasional,” kata Sudarto.

Sejalan dengan seruan serikat pekerja, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, menilai bahwa perlindungan terhadap industri padat karya seperti IHT harus disertai dengan kebijakan yang tepat sasaran dan konsisten. 

“Efisiensi anggaran yang kontraktif seharusnya diimbangi dengan realokasi dari yang kurang produktif ke yang lebih produktif dan berdampak pada ekonomi masyarakat,” ujarnya.

Ahmad juga menyoroti pentingnya menjaga daya saing dan kepastian pasar bagi IHT, karena hal ini menjadi kunci untuk mendorong aktivitas bisnis, menjaga lapangan kerja, dan mempercepat pemulihan ekonomi nasional. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya