Headline
Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.
Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.
Kehadiran PLTMG Luwuk mampu menghemat ratusan miliar rupiah dari pengurangan pembelian BBM.
FUNDAMENTAL ekonomi Indonesia dinilai masih cukup kuat untuk menjadi bantalan pengaman dalam menghadapi tantangan global. Hanya saja, itu bukan berarti perekonomian dalam negeri akan baik-baik saja lantaran sejumlah indikator menunjukkan adanya risiko yang harus segera ditangani.
Ekonom Center for Sharia Economic Development (CSED) Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Hakam Naja menyoroti pentingnya strategi pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi serta mendorong pertumbuhan inklusif.
"Setelah mengalami kontraksi, ekonomi kita kembali tumbuh. Saat ini, ada target ambisius dari pemerintah untuk mencapai pertumbuhan 8% dalam dua hingga tiga tahun ke depan. Ini membutuhkan kesiapan yang matang," ujarnya dalam Disksusi Publik bertajuk Overview Ekonomi Ramadhan secara daring, Jumat (21/3).
Namun, Hakam mengingatkan, kondisi ekonomi global dan domestik saat ini masih penuh ketidakpastian. Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah deflasi yang terjadi di awal 2025.
Deflasi mengindikasikan penurunan daya beli masyarakat, yang dapat berdampak buruk pada konsumsi dan investasi.
"Masyarakat mengalami penurunan kemampuan membelanjakan kekayaannya, yang terlihat dari berkurangnya tabungan. Ini perlu segera diatasi agar tidak berdampak panjang terhadap pertumbuhan ekonomi," jelasnya.
Selain itu, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi di berbagai sektor juga memperburuk situasi. Hal itu menyebabkan berkurangnya pendapatan masyarakat dan meningkatkan tekanan terhadap pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja baru.
"PR besar kita saat ini adalah bagaimana membagi ekonomi dan menyerap tenaga kerja secara optimal," terang Hakam.
Dia juga mengingatkan agar pertumbuhan ekonomi tidak hanya menguntungkan segelintir kelompok. Jangan sampai, pertumbuhan ekonomi Indonesia menyebabkan kepedihan (immiserizing economic growth), yakni pertumbuhan tinggi yang justru memperlebar ketimpangan sosial.
"Kita harus memastikan pertumbuhan ekonomi tidak menyengsarakan kelompok bawah. Salah satu cara adalah dengan memastikan 50% pembiayaan dari bank emas dialokasikan untuk UMKM," kata Hakam.
Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya transparansi dan efisiensi dalam pengelolaan anggaran negara agar kebijakan ekonomi berjalan optimal. "Jangan sampai efisiensi hanya menjadi jargon, sementara ada pihak yang masih berfoya-foya atau bahkan melakukan korupsi. Pemerintah harus tegas dalam menjaga tata kelola ekonomi agar lebih berkeadilan," pungkas Hakam. (Mir/E-1)
Ketua Umum Hippindo Budihardjo Iduansjah mengatakan, grafik penurunan itu diharapkan hanya terjadi pada dua bulan pertama di tahun ini.
Masyarakat saat ini cenderung beralih mengonsumsi barang dengan harga satuan rendah.
BPS mencatat deflasi Gabungan Kota Indeks Harga Konsumen (IHK) DIY Mei 2025 sebesar -0,15% (mtm), turun dibandingkan realisasi April 2025 yang mengalami inflasi sebesar 1,67% (mtm).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi deflasi sebesar 0,37% pada Mei 2025. Angka ini berbanding terbalik dengan yang terjadi di April 2025 yang mengalami inflasi 1,17%.
BPS mencatat inflasi Jakarta pada April 2025 sebesar 1,44%, terutama bersumber dari kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga, kelompok perawatan pribadi dan jasa
PENURUNAN harga sejumlah komoditas pangan dalam sepekan terakhir membuka potensi terjadinya deflasi di Sumatra Utara pada April 2025.
BERDASARKAN rilis Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta pada Maret 2025 mengalami inflasi sebesar 2,00% (mtm), setelah bulan sebelumnya mengalami deflasi sebesar -0,29% (mtm).
KETUA umum Apindo memprediksi bahwa momen Lebaran 2025 masih dibayang-bayangi sentimen daya beli masyarakat yang masih belum sepenuhnya pulih sejak akhir tahun lalu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved