Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Indonesia Berhasil Buktikan Tindakan Diskriminasi Uni Eropa soal Minyak Sawit dan Biofuel

Naufal Zuhdi
17/1/2025 16:17
Indonesia Berhasil Buktikan Tindakan Diskriminasi Uni Eropa soal Minyak Sawit dan Biofuel
Ilustrasi: karyawan mengawasi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit sebelum dimasak(ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas)

PEMERINTAH Indonesia berhasil membuktikan diskriminasi oleh Uni Eropa (UE) dalam sengketa dagang kelapa sawit di Badan Penyelesaian Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (Dispute Settlement Body World Trade Organization/DSB WTO). 

Hal tersebut, tertuang dalam Laporan Hasil Putusan Panel WTO (panel report) yang disirkulasikan pada 10 Januari 2025. Menteri Perdagangan (Mendag) RI, Budi Santoso mengatakan, Pemerintah Indonesia menyambut baik Putusan Panel WTO pada sengketa dagang terkait kelapa sawit ini.

“Pemerintah Indonesia menyambut baik Putusan Panel WTO pada sengketa dagang sawit dengan Uni Eropa yang dikaitkan dengan isu perubahan iklim, sebagai dasar agar Uni Eropa tidak sewenang-wenang dalam memberlakukan kebijakan yang diskriminatif. Kami harap, di masa depan, negara mitra dagang lainnya tidak memberlakukan kebijakan serupa yang berpotensi menghambat arus perdagangan global,” tutur Budi dalam keterangan resminya, Jumat (17/1).

Secara umum, Panel WTO menyatakan bahwa UE melakukan diskriminasi dengan memberikan perlakuan yang kurang menguntungkan terhadap biofuel berbahan baku kelapa sawit dari Indonesia dibandingkan dengan produk serupa yang berasal dari UE seperti rapeseed dan bunga matahari. Sementara itu, UE juga membedakan perlakuan dan memberikan keuntungan lebih kepada produk sejenis yang diimpor dari negara lain seperti kedelai.

Panel WTO juga menilai UE gagal meninjau data yang digunakan untuk menentukan biofuel dengan kategori alih fungsi lahan kelapa sawit berisiko tinggi (high ILUC-risk) serta ada kekurangan dalam penyusunan dan penerapan kriteria serta prosedur sertifikasi low ILUC-risk dalam Renewable Energy Directive (RED) II. Oleh karena itu, UE diwajibkan untuk menyesuaikan kebijakan di dalam Delegated Regulation yang dipandang Panel melanggar aturan WTO.

“Indonesia melihat kebijakan tersebut sebagai bentuk tindakan proteksionisme dengan dalih menggunakan isu kelestarian lingkungan yang sering didengungkan oleh Uni Eropa,” katanya.

Sebagai informasi, pada Desember 2019, Indonesia menggugat pertama kali UE di WTO dengan nomor kasus DS593: European Union-Certain Measures Concerning Palm Oil and Oil Palm Crop-Based Biofuels. Gugatan tersebut mencakup kebijakan RED II dan Delegated Regulation UE, serta kebijakan Prancis yang menjadi hambatan akses pasar kelapa sawit sebagai bahan baku biofuel. 

Hambatan tersebut antara lain adalah pembatasan konsumsi biofuel berbahan baku kelapa sawit sebesar 7 persen, kriteria (high ILUC-risk), dan ketentuan penghentian penggunaan biofuel berbahan baku kelapa sawit secara bertahap (phase out).

Langkah selanjutnya 

Berdasarkan peraturan WTO, jika tidak ada keberatan dari para pihak yang bersengketa, panel report akan diadopsi dalam kurun waktu 20-60 hari setelah disirkulasikan kepada Anggota WTO.

Sehingga, laporan tersebut bersifat mengikat kepada Indonesia dan UE. UE kemudian akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mematuhi kewajibannya sesuai putusan Panel WTO.

Budi menegaskan, Pemerintah Indonesia akan memonitor secara ketat perubahan regulasi UE agar sesuai dengan putusan dan rekomendasi DSB WTO, khususnya terkait unsur diskriminasi yang dimenangkan Indonesia. Jika diperlukan, sambung Budi, Pemerintah Indonesia juga akan menilai kepatuhan (compliance panel) terhadap hal tersebut. Secara paralel, Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk membuka akses pasar produk sawit Indonesia di pasar UE melalui berbagai forum perundingan.

“Keberhasilan Indonesia dalam memenangkan sengketa dagang di WTO merupakan hasil dari langkah proaktif dan koordinasi yang intensif para pemangku kepentingan di dalam negeri seperti kementerian dan lembaga terkait, pelaku industri, asosiasi kelapa sawit Indonesia, tim ahli, dan tim kuasa hukum Pemerintah Indonesia,” pungkasnya. (Fal/M-3)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya