Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Raja Tekstil Sritex Bangkrut, Indikasi Sektor Tekstil RI Melemah

Insi Nantika Jelita
24/10/2024 23:00
Raja Tekstil Sritex Bangkrut, Indikasi Sektor Tekstil RI Melemah
Buruh mengendarai sepeda keluar dari pabrik PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis (24/10/2024).(ANTARA/MOHAMMAD AYUDHA)

PENGAMAT ekonomi Yanuar Rizki menilai bangkrutnya raja tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk. atau Sritex mengindikasikan kondisi industri tekstil dalam negeri melemah. Perusahaan tekstil ternama yang sudah berdiri hampir 60 tahun itu dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Kota Semarang pada Senin (21/10) lalu.

Ia berpandangan Sritex tidak mampu menghadapi tekanan global dari kondisi pandemi covid-19 dan perang Rusia-Ukraina yang mempengaruhi penurunan ekspor tekstil dan garmen. Hal ini diperparah dengan gempuran produk-produk impor ilegal yang masuk ke Indonesia. 

"Kondisi sektor tekstil kita melemah. Ini diikuti oleh maraknya impor baju bekas ilegal," ujar Yanuar kepada Media Indonesia, Kamis (24/10) 

Yanuar mengaku tidak mengetahui pasti penyebab bangkrutnya Sritex. Namun, berdasarkan putusan PN Semarang,  penetapan pailit itu setelah pengadilan mengabulkan permohonan salah satu kreditur Sritex yaitu PT Indo Bharat Rayon, yang meminta pembatalan perdamaian dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang sudah ada kesepakatan sebelumnya. Sritex dikabarkan memiliki utang jumbo hingga ratusan miliar rupiah kepada para kreditur. 

Sritex memiliki empat entitas anak yang mendukung bisnisnya, tiga di antaranya yakni PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, PT Primayudha Mandiri Jaya juga dinyatakan pailit oleh PN Semarang. 

Yanuar menjelaskan pelemahan industri manufaktur sudah terlihat dari jauh hari. Pada tahun lalu, sejumlah perusahaan tekstil dan garmen telah tutup di berbagai wilayah seperti di Banten, Tangerang, Pekalongan, Sukabumi, dan lainnya. Yanuar mengatakan industri tekstil dan garmen semakin tertekan dari sisi suplai dan juga dari sisi demand atau permintaan yang menurun karena daya beli yang berkurang.

Secara umum, lanjutnya, produk Indonesia kalah saing dengan negara lain. Tiongkok, kata Yanuar, mengekspor produk-produk dengan harga di bawah pasar dalam negeri. Plus marjin biaya distribusi yang jauh dibawah harga pokok produksi di Tanah Air. Produk impor pun lebih kompetitif dan leluasa menguasai pasar dalam negeri.  

"Ini yang membuat rendahnya daya saing produk Indonesia. Impor pakaian jadi jauh lebih murah dari beli barang di dalam negeri," ucapnya. 

Dihubungi terpisah, Ketua Umum Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Subandi menuding selama ini pemerintah acuh terhadap kondisi industri tekstil dan garmen dalam negeri yang semakin terpuruk. Ia menegaskan seharusnya pemerintah turun tangan mencegah terjadinya kebangkrutan perusahaan-perusahaan tekstil di dalam negeri melalui pembinaan terhadap industri dari kementrian terkait.

"Cuma sayangnya kan pemerintah masa bodoh saja, mau bangkrut, ya bangkrut saja. Yang seperti Sritex mungkin ada banyak hanya tidak terekspos ke publik saja," ucapnya. 

Subandi mendorong Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan kementerian terkait lainnya fokus memberikan perlindungan bagi industri tekstil secara jangka panjang dan melakukan pengetatan impor barang.

"Pemerintah harus bisa memastikan apakah bahan baku yang dibutuhkan perlu diberi relaksasi atau diberi dispensasi agar industri terus berproduksi. Lalu, bagaimana memastikan pengusaha menjual produknya dengan lancar sesuai regulasi," pungkasnya. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya