Headline
Pemerintah belum memastikan reshuffle Noel.
PT Sri Rejeki Isman Tbk, atau yang lebih dikenal sebagai Sritex, adalah raksasa tekstil Indonesia yang pernah berjaya. Namun, pada Oktober 2024, Sritex bangkrut dan resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang. Apa yang menyebabkan perusahaan besar ini jatuh? Berikut adalah penjelasan sederhana tentang penyebab Sritex bangkrut yang perlu kamu tahu.
Salah satu alasan utama Sritex bangkrut adalah utang yang sangat besar. Hingga 2022, utang Sritex mencapai Rp24,66 triliun, jauh lebih besar dari aset mereka yang hanya Rp10,33 triliun. Utang ini berasal dari pinjaman bank dan obligasi untuk ekspansi besar-besaran, seperti membeli mesin baru dan membuka pabrik tambahan. Sayangnya, saat pasar tekstil melemah, Sritex tidak mampu membayar utang tersebut.
Pandemi COVID-19 menjadi pukulan besar bagi Sritex. Selama pandemi, permintaan tekstil di pasar global dan domestik turun drastis. Banyak negara menerapkan lockdown, sehingga ekspor Sritex, yang menyumbang 60% pendapatan, anjlok. Akibatnya, pendapatan perusahaan menurun, tetapi utang tetap harus dibayar, membuat keuangan Sritex semakin sulit.
Sritex juga kalah bersaing dengan produk tekstil impor, terutama dari China. Sejak 2023, impor pakaian jadi dari China membanjiri pasar Indonesia, sering kali secara ilegal. Produk impor ini jauh lebih murah, sehingga Sritex kehilangan pangsa pasar di dalam negeri. Kebijakan pemerintah, seperti Permendag No. 8/2024, juga dianggap kurang melindungi industri lokal dari serbuan impor.
Industri tekstil Indonesia, termasuk Sritex, menghadapi biaya produksi yang tinggi, seperti upah pekerja dan harga energi. Selain itu, teknologi yang digunakan Sritex kurang canggih dibandingkan kompetitor seperti Vietnam dan China. Hal ini membuat produksi Sritex kurang efisien dan harganya kalah saing di pasar global.
Sritex tidak cukup berinvestasi pada teknologi modern untuk meningkatkan efisiensi. Akibatnya, biaya produksi tetap tinggi, sementara kompetitor bisa menawarkan harga lebih murah berkat teknologi canggih.
Sebagai perusahaan yang mengimpor beberapa bahan baku, Sritex terkena dampak depresiasi rupiah. Harga bahan baku jadi lebih mahal, sehingga keuntungan perusahaan semakin tipis.
Pemerintah berupaya membantu Sritex, misalnya dengan memfasilitasi restrukturisasi utang. Namun, bantuan ini tidak cukup. Tidak ada bailout atau suntikan dana langsung seperti yang pernah diberikan untuk sektor perbankan. Selain itu, kebijakan perdagangan yang lemah memungkinkan produk impor membanjiri pasar, memperburuk kondisi Sritex.
Pada 2021, Sritex mendapat kesempatan untuk merestrukturisasi utang melalui PKPU. Namun, perusahaan gagal memenuhi kesepakatan dengan kreditur, sehingga dinyatakan pailit pada 2024.
Kebangkrutan Sritex menyebabkan PHK massal terhadap 10.669 karyawan per Maret 2025. Selain itu, saham Sritex (SRIL) terancam delisting dari Bursa Efek Indonesia. Ini menjadi peringatan bagi industri tekstil Indonesia untuk lebih kompetitif dan mendapat dukungan kebijakan yang lebih baik.
Kasus Sritex menunjukkan pentingnya manajemen keuangan yang hati-hati, inovasi teknologi, dan kebijakan pemerintah yang mendukung industri lokal. Tanpa langkah ini, industri tekstil lain bisa mengalami nasib serupa.
Dengan memahami penyebab Sritex bangkrut, kita bisa belajar bagaimana menjaga industri tekstil Indonesia tetap kuat di tengah tantangan global. Mari dukung produk lokal agar ekonomi kita semakin maju! (Z-10)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved