4 Subsektor Manufaktur Alami Tekanan Berat

M Ilham Ramadhan Avisena
13/8/2024 14:25
4 Subsektor Manufaktur Alami Tekanan Berat
Ilustrasi(Antara)

Empat subsektor industri manufaktur Indonesia mengalami tekanan berat. Itu terlihat dari kinerja pertumbuhan hingga triwulan II yang kurang menggembirakan. Karenanya, pemerintah mencari cara untuk menyelamatkan nasib empat subsektor tersebut.

Empat subsektor itu ialah subsektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), subsektor manufaktur karet, subsektor manufaktur mesin, dan subsektor alas kaki. "Oleh karena itu menteri terkait melakukan langkah-langkah, nanti keluarnya dalam bentuk PMK, entah bea masuk, tarif, atau cara lain," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, (13/8).

Data pemerintah menunjukkan kinerja subsektor manufaktur TPT tak mengalami pertumbuhan di triwulan II 2024, alias nol. Lalu subsektor alas kaki mencatatkan pertumbuhan 1,9%. Subsektor karet mengalami pertumbuhan 2,1% dan subsektor mesin mencatatkan pelambatan -1,8%.

Baca juga : Pemerintah Waspadai Tren Penurunan Ekspor

Kinerja dari empat subsektor manufaktur itu turut menyeret level Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Indonesia ke zona kontraktif, yakni turun ke angka 49,3 pada Juli 2024 setelah sebelumnya berada di zona ekspansif selama 34 bulan berturut-turut.

Sejauh ini, dukungan yang diberikan pemerintah terhadap industri manufaktur agar bisa pulih dan mendorong persaingan sehat dilakukan melalui bea masuk tindakan pengamanan (BMTP), tax allowance, dan tax holiday.

"Jadi ini empat industri, alas kaki, mesin, tekstil, ini menggambarkan area manufaktur yang sedang mengalami tekanan. Entah itu karena impor atau lainnya," jelas Sri Mulyani.

Baca juga : Relaksasi Impor Jadi Biang Kerok Turunnya Indeks Manufaktur Indonesia

Namun di saat yang sama, lanjutnya, terdapat sejumlah subsektor manufaktur yang mencatatkan kinerja impresif. Industri logam dasar, misalnya, mampu tumbuh hingga 18,1% di triwulan II 2024.

Kemudian industri kimia dan farmasi berhasil membukukan pertumbuhan 8,0% dan industri makanan dan minum tumbuh 5,5%. "Jadi ada beberapa shifting manufaktur yang memiliki patern permintaan seperti mamin, farmasi, dan juga untuk industri hilirasi yang still going strong 18,1%," jelas Sri Mulyani.

Lebin lanjut, dia menerangkan, level PMI manufaktur Indonesia Juli 2024 itu berasal dari empat komponen seperti output dan total permintaan yang di zona kontraktif, yakni masing-masing 48,8 dan 48,7. Sementara komponen stok barang jadi dan stok input produksi di zona ekspansif, masing-masing 52,8 dan 50,4.

Baca juga : Bea Cukai Disebut Biang Keladi Badai PHK Industri Tekstil

Kondisi PMI manufaktur yang terkontraksi, imbuh Sri Mulyani, sejalan dengan perkembangan global saat ini. Setidaknya 54,2% negara G-20 dan ASEAN 6 memiliki PMI di zona kontraktif pada triwulan II 2024. Sementara 45,8% lainnya berada di zona ekspansif.

"Manufaktur global sudah jadi korban pertama. Kontraksi pada Juli di 49,7. Ini menggambarkan lingkungan global yang begitu sangat tidak settle, dinamis, volatile, bahkan hostile to each other, ini menyebabkan perekonomian menjadi relatif berhenti atau stagnan," terang Sri Mulyani.

"Pengaruhnya adalah hampir semua order baru, pemesanan barang semuanya di bawah zona kontraktif. Ekspor baru juga semua mengalami kontraksi. Ini menjadi korban environment global yang volatile dan hostile," pungkasnya. (Z-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika
Berita Lainnya