Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
JANJI negara maju untuk mendukung pendanaan pengurangan emisi tampak menjadi pepesan kosong. Pasalnya sejak komitmen itu dicanangkan dalam Paris Agreement, belum ada realisasi pencairan dana yang diberikan.
Direktur Pinjaman dan Hibah Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko Kementerian Keuangan Dian Lestari mengatakan, Indonesia masih terus menunggu janji itu ditunaikan oleh negara-negara maju.
"Komitmen negara maju akan membantu US$100 miliar per tahun sampai 10 tahun ke depan untuk bisa mencapai target di 2030, tapi yang terjadi jauh panggang dari api," ujarnya dalam taklimat media di Bogor, Rabu (29/5).
Baca juga : Studi: Tingkat Kesuburan Global Terus Merosot
Jejak emisi yang ditinggalkan negara maju juga dipandang belum sejalan dengan komitmen yang disampaikan, bahkan untuk negaranya sendiri. Berbagai alasan selalu dikemukakan dalam forum internasional untuk memaklumi pengingkaran komitmen-komitmen yang telah dibuat.
Dian mengatakan, negara berkembang sudah tak menaruh harapan besar dari janji negara maju yang tidak pernah terealisasi tersebut. Karenanya, mayoritas negara berkembang mengharapkan adanya insentif untuk bisa memuluskan agenda pengurangan emisi.
"Kita paling tidak mengharapkan insentif bagi negara berkembang untuk bisa berkomitmen mewujudkan pengurangan emisi yang sama-sama dinikmati secara global," kata dia.
Baca juga : Perekonomian Global Bersiap untuk Rekor Terburuk di Akhir 2024
Pengurangan emisi menjadi penting, tak hanya bagi lingkungan, tetapi juga perekonomian. Emisi berlebih menimbulkan pemanasan global yang akan berdampak pada aspek sosial dan ekonomi.
Bahkan bagi Indonesia, kerugian ekonomi dari tak tertanganinya masalah iklim diperkirakan mencapai 2,87% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal banyak negara berkembang justru terbilang minim meninggalkan jejak emisi dibanding negara-negara maju.
"Ada kebutuhan teknologi yang lebih mahal, ada kebutuhan investasi yang sangat besar, belum lagi dampak transisi ke makro perlu dikompensasi," terang Dian.
Baca juga : Jokowi: Komitmen Pendanaan Iklim Negara Maju Cuma Sebatas Retorika
"Ini diharapkan adanya insentif yang terlihat dari berbagai instrumen pembiayaan yang diberikan internasional apakah melalui kerja sama pembiayaan bilateral, apakah melalui pembiayaan multilateral," tambahnya.
Urung terealisasinya komitmen pendanaan dari negara maju turut menghambat proses percepatan transisi energi hijau yang adil dan berkelanjutan melalui kemitraan untuk mengatasi dampak perubahan iklim atau Just and Enery Transition Partnership (JETP).
"Memang saat ini tantangan global, bukan hanya tantangan Indonesia untuk merealisasikan komitmen itu. Indonesia siap, list of project dalam CIPP (Comprehensive Investment and Policy Plan) sudah ada, tinggal mereka kapan mengucur dananya," tutur Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Boby Wahyu Hernawan di kesempatan yang sama.
Menurutnya, Indonesia telah melaksanakan kewajiban dan pekerjaan rumah yang tertuang dalam JETP. Bahkan, Indonesia menunggu pihak International Partners Group (IPG) melaksanakan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam JETP.
"Indonesia selalu melakukan PR-nya. Tinggal para pihak itu akan melakukan kewajibannya terhadap kita atau tidak. Perencanaan kita punya, project preparation kita punya, project list, dan sebagainya yang kita ada dalam dokumen. Bahkan Indonesia sekarang fokus pada implementasi dari JETP," ujar dia. (Mir/P-5)
"Tagih utang iklim kepada negara maju. Bukan dagang karbon. Karena negara-negara maju punya utang iklim, mereka sudah pakai fosil duluan,"
KOREA Selatan memiliki persoalan pada negara yang cukup serius yaitu mengenai jumlah populasi warganya. Jumlah penduduk Korsel mengalami penyusutan tajam akibat menurunnya angka kelahiran
Peran pemerintah daerah sangat krusial untuk mendukung pencapaian Indonesia menjadi negara maju. Optimalisasi peranan daerah dapat mempercepat Indonesia keluar dari middle income trap.
Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya peluang Indonesia menuju negara maju, namun juga mengingatkan akan tantangan besar di bidang kesehatan.
Sebuah studi besar yang diterbitkan dalam jurnal The Lancet memperingatkan hampir setiap negara akan menghadapi penurunan populasi pada akhir abad ini.
Proses mempertemukan pelaku usaha atau business matchmaking dianggap menjadi jurus ampuh bagi Indonesia untuk bisa keluar dari jebakan pendapatan menengah atau middle income trap.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) nomor 7 yang diadopsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah energi bersih dan terjangkau.
WAKIL Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono menyampaikan di tengah perlambatan ekonomi global, 108 negara berpotensi tidak berhasil naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi.
Wakil Menteri Luar Negeri RI Pahala Mansury menegaskan bahwa Indonesia akan terus memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang di tengah pesatnya perkembangan teknologi.
PENURUNAN bunga acuan The Federal Reserve sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 4,75% hingga 5,0% merupakan angin segar bagi perekonomian dunia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved