Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Negara Berkembang Harus Terus Tagih Utang Iklim Negara Maju

Atalya Puspa
13/11/2024 14:55
Negara Berkembang Harus Terus Tagih Utang Iklim Negara Maju
Ilustrasi deforestasi hutan(ANTARA FOTO)

DIREKTUR Eksekutif Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bima Yudhistira mengatakan seharusnya negara-negara berkembang menaguh utang negara maju untuk membantu menghadapi krisis iklim di ajang COnference of the Parties (COP) ke-29.

"Tagih utang iklim kepada negara maju. Bukan dagang karbon. Karena negara-negara maju punya utang iklim, mereka sudah pakai fosil duluan," kata Bima dalam acara diskusi publik Membongkar Narasi Palsu Perdagangan Karbon, Rabu (13/11). 

Sebagai informasi, pada tahun 2009, negara-negara maju sepakat pada Konferensi Para Pihak ke-15 (COP15) untuk memobilisasi US$100 miliar dolar per tahun untuk aksi iklim di negara-negara berkembang. Nyatanya hingga kini janji tersebut belum kunjung dipenuhi meskipun sering disinggung.

Menurut Bima, perdagangan karbon yang memungkinkan negara berkembang 'menjual' hutan demi mengatasi krisis iklim saat ini bukan solusi yang harus dikedepankan. 

"Tuntut negara-negara industri untuk bayar dulu utang iklim. Itu yang harusnya dilakukan pertama. Jadi ini sebenarnya kita sedang mengemis sesuatu yang fana, yang bahkan uangnya saja enggak ada," tegas dia. 

Terlebih, menurut Bima, perdagangan karbon merupakan solusi palsu yang justru harganya lebih mahal dibandingkan dengan beralih ke energi terbarukan. "Alih-alih segera beralih ke energi bersih, perdagangan karbon memicu penggunaan teknologi penyimpanan karbon. PLTU dengan CCUS biaya investasi Rp30,3 juta/Kwh pada 2020 dan Rp22,01 juta/Kwh di 2050. Lebih mahal dibandingkan investasi energi terbarukan lainnya seperti PLTS skala utilitas maupun industri yang mencapai Rp6,3 juta/Kwh di 2050," beber Bima. 

Bima menyampaikan, data membuktikan 90% sertifikat offset karbon tidak memiliki peran mencegah deforestasi di hutan tropis. "Jadi enggak ada jaminan perusahaan beli sertifikat karbon, apalagi ke perusahaan lainnya, bukan langsung ke masyarakat, lalu dipastikan tidak terjadi deforestasi. Banyak tempat justru terjadi deforestasi," pungkas dia. (M-2) 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya