Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
DIREKTUR Eksekutif Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bima Yudhistira mengatakan seharusnya negara-negara berkembang menaguh utang negara maju untuk membantu menghadapi krisis iklim di ajang COnference of the Parties (COP) ke-29.
"Tagih utang iklim kepada negara maju. Bukan dagang karbon. Karena negara-negara maju punya utang iklim, mereka sudah pakai fosil duluan," kata Bima dalam acara diskusi publik Membongkar Narasi Palsu Perdagangan Karbon, Rabu (13/11).
Sebagai informasi, pada tahun 2009, negara-negara maju sepakat pada Konferensi Para Pihak ke-15 (COP15) untuk memobilisasi US$100 miliar dolar per tahun untuk aksi iklim di negara-negara berkembang. Nyatanya hingga kini janji tersebut belum kunjung dipenuhi meskipun sering disinggung.
Menurut Bima, perdagangan karbon yang memungkinkan negara berkembang 'menjual' hutan demi mengatasi krisis iklim saat ini bukan solusi yang harus dikedepankan.
"Tuntut negara-negara industri untuk bayar dulu utang iklim. Itu yang harusnya dilakukan pertama. Jadi ini sebenarnya kita sedang mengemis sesuatu yang fana, yang bahkan uangnya saja enggak ada," tegas dia.
Terlebih, menurut Bima, perdagangan karbon merupakan solusi palsu yang justru harganya lebih mahal dibandingkan dengan beralih ke energi terbarukan. "Alih-alih segera beralih ke energi bersih, perdagangan karbon memicu penggunaan teknologi penyimpanan karbon. PLTU dengan CCUS biaya investasi Rp30,3 juta/Kwh pada 2020 dan Rp22,01 juta/Kwh di 2050. Lebih mahal dibandingkan investasi energi terbarukan lainnya seperti PLTS skala utilitas maupun industri yang mencapai Rp6,3 juta/Kwh di 2050," beber Bima.
Bima menyampaikan, data membuktikan 90% sertifikat offset karbon tidak memiliki peran mencegah deforestasi di hutan tropis. "Jadi enggak ada jaminan perusahaan beli sertifikat karbon, apalagi ke perusahaan lainnya, bukan langsung ke masyarakat, lalu dipastikan tidak terjadi deforestasi. Banyak tempat justru terjadi deforestasi," pungkas dia. (M-2)
KOREA Selatan memiliki persoalan pada negara yang cukup serius yaitu mengenai jumlah populasi warganya. Jumlah penduduk Korsel mengalami penyusutan tajam akibat menurunnya angka kelahiran
Peran pemerintah daerah sangat krusial untuk mendukung pencapaian Indonesia menjadi negara maju. Optimalisasi peranan daerah dapat mempercepat Indonesia keluar dari middle income trap.
Jejak emisi yang ditinggalkan negara maju juga dipandang belum sejalan dengan komitmen yang disampaikan
Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya peluang Indonesia menuju negara maju, namun juga mengingatkan akan tantangan besar di bidang kesehatan.
Sebuah studi besar yang diterbitkan dalam jurnal The Lancet memperingatkan hampir setiap negara akan menghadapi penurunan populasi pada akhir abad ini.
Proses mempertemukan pelaku usaha atau business matchmaking dianggap menjadi jurus ampuh bagi Indonesia untuk bisa keluar dari jebakan pendapatan menengah atau middle income trap.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) nomor 7 yang diadopsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah energi bersih dan terjangkau.
WAKIL Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono menyampaikan di tengah perlambatan ekonomi global, 108 negara berpotensi tidak berhasil naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi.
Wakil Menteri Luar Negeri RI Pahala Mansury menegaskan bahwa Indonesia akan terus memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang di tengah pesatnya perkembangan teknologi.
PENURUNAN bunga acuan The Federal Reserve sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 4,75% hingga 5,0% merupakan angin segar bagi perekonomian dunia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved