Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
LEMBAGA Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI memandang dari kondisi inflasi dan nilai tukar saat ini membuat tidak ada keperluan mendesak untuk Bank Indonesia (BI) mengubah suku bunga acuan BI Rate.
"Kami berpandangan bahwa BI perlu menahan suku bunga acuan di 6,00% pada Rapat Dewan Gubernur Maret ini," kata Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky, Selasa (19/3).
Baca juga : Kenapa BI Memilih Tetapkan Suku Bunga Acuan Stabil? Ternyata Ini Alasannya
Secara keseluruhan, kondisi suku bunga acuan di berbagai negara berkembang cukup tergantung dari pergerakan yang akan diambil oleh Bank Sentral AS The Fed.
Inflasi AS secara tidak terduga meningkat ke 3,2% (yoy) di Februari 2024, menunjukkan tantangan yang semakin sulit dihadapi The Fed dalam usaha untuk menurunkan angka inflasi.
Tingkat pengangguran AS juga meningkat ke 3,9% di Februari 2024 dari 3,7% di bulan sebelumnya. Kenaikan inflasi yang tidak terduga ini mendorong munculnya sentimen The Fed harus menunda penurunan suku bunga acuan dari titik tertingginya dalam 23 tahun terakhir.
Baca juga : BI Rate Kembali Ditahan di Angka 6%, Untuk Stabilisasi Nilai Tukar Rupiah
Sebelum rilis data inflasi terbaru, berbagai indikasi menunjukkan The Fed akan mulai menurunkan suku bunga acuannya di Juni 2024. Tetapi, naiknya inflasi meningkatkan kemungkinan bahwa pemangkasan suku bunga acuan akan tertunda hingga September 2024.
Perkembangan ini membuat situasi di AS semakin kompleks menyusul pemerintahan Biden yang cenderung ingin menurunkan biaya pinjaman ke level prapandemi secepatnya menjelang periode pemilu di AS.
Bergesernya sentimen ke arah penundaan pemangkasan suku bunga acuan The Fed memicu arus modal keluar dari berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia. Sejak pertengahan Februari, Indonesia mengalami arus modal keluar dari pasar obligasi yang mencapai US$1,39 miliar.
Baca juga : BI: Instrumen Penguatan Rupiah Terus Dioptimalkan
Tetapi, akibat semakin rendahnya porsi kepemilikan asing, intervensi aktif oleh BI, dan permintaan domestik yang masih solid cenderung membatasi dampak dari arus modal keluar terhadap imbal hasil surat utang Pemerintah.
Saat ini, porsi kepemilikan asing pada surat utang Pemerintah hanya sekitar 14,4%, jauh lebih rendah dari porsi asing di tahun 2019 yang mencapai hampir 40%.
Selama periode minggu kedua Februari hingga minggu kedua Maret 2024, imbal hasil surat utang Pemerintah tenor 10-tahun cenderung stabil di 6,7%, sedangkan imbal hasil tenor 1-tahun bahkan menurun dari 6,21% ke 6,16%.
Baca juga : Kenaikan BI Rate Sebagai Dampak Volatilitas Pasar
Di sisi lain, tercatat adanya arus modal masuk di pasar saham sebesar US$0,5 miliar pada periode yang sama. Seiring dengan terjaganya sentimen positif oleh investor terhadap prospek pertumbuhan Indonesia dan menurunnya ketidakpastian pasca hasil quick-count Pemilu Presiden, arus modal masuk ke pasar saham mampu membatasi keseluruhan nilai arus modal keluar.
Secara kumulatif, Indonesia 'hanya’ mengalami arus modal keluar sebesar US$0,89 miliar selama pertengahan Februari hingga pertengahan Maret 2024.
Untuk menghindari risiko terjadinya arus modal keluar secara masif, bank sentral di negara berkembang kemungkinan tidak akan menurunkan suku bunga acuannya sebelum the Fed mengambil langkah tersebut.
Baca juga : Kenaikan BI Rate Dinilai Belum Perlu
"Indonesia juga tidak terkecuali. Di sisi lain, Rupiah cenderung stabil dalam beberapa minggu terakhir setelah sempat terdepresiasi dan inflasi domestik masih dalam rentang target BI," kata Riefky.
Hingga 17 Maret 2024, Rupiah telah terdepresiasi sebesar 1,6% (ytd), dan cenderung memiliki performa lebih buruk dibandingkan beberapa negara peers seperti Rupee India, Peso Filipina, dan Yuan Tiongkok.
Terlepas dari intervensi aktif oleh BI, tekanan terhadap Rupiah cukup signifikan dalam beberapa minggu terakhir akibat peningkatan ketidakpastian finansial global seiring pemilihan waktu penurunan suku bunga oleh berbagai bank sentral global, terutama the Fed.
Baca juga : Bank Indonesia akan Intervensi Valas, Tangkal Ketidakpastian Ekonomi Global
Namun, tingkat cadangan devisa saat ini relatif cukup tinggi dan memiliki kapasitas untuk menyerap tekanan dari potensi guncangan di pasar modal dan nilai tukar.
Cadangan devisa Indonesia sedikit menurun ke US$144,04 miliar di Februari 2024 dari US$145,05 miliar di bulan sebelumnya. Penurunan cadangan devisa salah satunya dipengaruhi oleh langkah intervensi secara aktif yang dilakukan oleh BI untuk menjaga stabilitas Rupiah dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah Indonesia.
Saat ini, tingkat cadangan devisa Indonesia setara dengan 6,5 bulan impor atau 6,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. (Z-3)
Jika pemerintah tetap berkeras menaikkan tarif PPN menjadi 12%, Indonesia akan berada di urutan puncak sebagai negara dengan pemberlakuan tarif PPN tertinggi di ASEAN bersama Filipina.
LPEM FEB UI mendesak Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan BI-Rate pada level 6% pada Rapat Dewan Gubernur BI November 2024.
LEMBAGA Penyelidik Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi triwulan I 2024 berada di kisaran 5,12% hingga 5,17%.
Wakil Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI Jahen Fachrul Rezki mengatakan volume ekspor Indonesia yang menurun karena beberapa faktor.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menjelaskan energi panas bumi bisa menjadi alternatif pembangkit listrik
Gigih mengatakan merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Mei silam, perekonomian Jatim pada Triwulan I-2025 tumbuh sebesar 5,00%.
Ekonom Bright Institute Awalil Rizky menilai inflasi yang rendah hingga terjadinya deflasi berulang merupakan indikasi negatif bagi perekonomian Indonesia.
KAD ini menurutnya untuk menjaga stabilitas pasokan khususnya untuk cabai dan bawang merah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi deflasi sebesar 0,37% pada Mei 2025. Angka ini berbanding terbalik dengan yang terjadi di April 2025 yang mengalami inflasi 1,17%.
Salah satu pengendalian inflasi dengan mendirikan Pabrik Saus Tomat dan Cabai di dalam gedung sentra Industri Kecil Menengah (IKM) Pengolahan Produk Holtikultura di Kecamatan Salimpaung.
Kebijakan Tarif Resiprokal Dibuat karena Adanya Kekhawatiran AS pada Kekuatan Tiongkok
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved