Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
KAMAR Dagang dan Industri Indonesia memahami bahwa tekanan eksternal yang dialami Indonesia saat ini tidak memungkinkan bagi Bank Indonesia untuk mempertahankan suku bunga di level 5,75% dan mempertahankan stabilitas makro, khususnya nilai tukar, pada saat yang bersamaan.
Meski demikian keputusan ini memang tidak ideal bagi pelaku usaha, karena semakin menambah proyeksi kenaikan beban overhead/ beban lain-lain dari usaha.
"Kami menghormati dan mendukung keputusan Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan ke 6%, juga mengapresiasi BI menciptakan kenaikan suku bunga yang minimal. Sehingga beban penyesuaian kenaikan suku bunga di sisi pelaku usaha bisa lebih bisa dikelola," kata Shinta, melalui keterangan yang diterima, Kamis (19/10).
Baca juga: Kenaikan BI Rate Sebagai Dampak Volatilitas Pasar
Kadin mengingatkan bahwa kenaikan suku bunga BI Rate perlu disertai dengan peningkatan efektifitas bauran kebijakan Bank Indonesia dalam menciptakan penguatan nilai tukar, agar ke depannya kenaikan suku bunga & pelemahan nilai tukar tidak terus menerus terjadi dan semakin membebani pelaku usaha & pertumbuhan ekonomi nasional.
"Kami berharap instrumen kenaikan suku bunga dijadikan “last resort” untuk menciptakan stabilitas & penguatan nilai tukar. Oleh karena itu instrumen kebijakan & intervensi moneter lain yang dimiliki Bank Indonesia & pemerintah untuk mengendalikan nilai tukar harus ditingkatkan," kata Shinta.
Baca juga: The Fed Beri Sinyal Tahan Suku Bunga
Pelemahan rupiah dalam tiga bulan terakhir sudah mengganggu pelaku usaha, khususnya dalam bentuk penggelembungan overhead cost usaha, sehingga pertumbuhan produktivitas/kinerja usaha & daya saing ekspor menurun.
Beberapa pelaku usaha di sektor terpaksa menaikkan harga jual di pasar karena kenaikan overhead cost yang disebabkan oleh efek pelemahan nilai tukar terhadap beban impor bahan baku/penolong & barang modal.
"Maka sangat penting agar pelemahan nilai tukar bisa segera dihentikan atau rupiah bisa kembali menguat dalam waktu dekat secara sustainable, meski harus dengan menaikkan suku bunga acuan," kata Shinta.
Kenaikan suku bunga diproyeksikan memperparah peningkatan beban overhead cost usaha yang sudah terjadi selama ini. Namun besaran kenaikan terhadap overhead masih belum bisa ditentukan. Sebab pengusaha perlu melihat bagaimana kenaikan suku bunga acuan ini akan meningkatkan suku bunga pinjaman riil kepada pelaku usaha dari sektor perbankan.
Secara historis kenaikan suku bunga pinjaman riil tidak selalu sama besarnya dengan kenaikan suku bunga BI, bisa terjadi lebih tinggi atau lebih rendah.
"Kami berharap sektor perbankan bisa mempertahankan suku bunga pinjaman di level yg sama atau setidaknya menciptakan kenaikan yg sama besarnya dengan kebaikan suku bunga BI atau maksimal 25 bps. Sehingga kenaikan beban overhead di sisi pelaku usaha menjadi minimal," kata Shinta.
Kadin memperkirakan kenaikan suku bunga BI-7DRRR dapat memperlambat laju pertumbuhan kredit usaha karena risiko & beban pinjaman yang lebih tinggi. Mereka juga memandang sektor perbankan juga sudah semakin selektif dalam mendistribusikan kredit pada tingkat suku bunga yang ada saat ini.
Sebab tidak semua sektor usaha memiliki kinerja atau profit margin yang cukup besar untuk dapat mengcover beban bunga, apalagi bila nanti suku bunga pinjaman usaha di perbankan ikut naik karena kenaikan suku bunga BI Rate.
Kadin melihat potensi pelemahan rupiah masih sangat tinggi hingga akhir tahun 2023, khususnya bila bank sentral AS Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga acuan mereka untuk mengendalikan inflasi di AS, ataupun bila konflik di Timur Tengah meluas, dan semakin mempengaruhi harga & pasokan migas di pasar global.
"Dalam kedua kasus, pelemahan rupiah dan mata uang lain di dunia dapat terjadi secara signifikan, tergantung pada fundamental ekonomi masing-masing negara," kata Shinta.
Terpisah Direktur PT.Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan memasuki tahun politik, pelemahan nilai tukar rupiah saat ini relatif lebih baik dibandingkan dengan mata uang sejumlah negara lain di kawasan Asia dan global.
"Namun bagi Masyarakat pelemahan mata uang rupiah yang terus menerus akan berdampak terhadap kenaikan harga-harga salah satunya harga komoditas dan akan berpengaruh terhadap menurunnya daya beli. Sehingga konsumsi masyarakat akan menurun," kata Ibrahim, Jumat (20/10).
Guna untuk menahan laju pelemahan mata uang rupiah, Pemerintah dan Bank Indonesia harus bahu-membahu untuk melakukan pencegahan dengan melakukan strategi bauran ekonomi lebih banyak lagi, agar bisa menahan gelombang eksternal yang dahsyat, akibat perang antara Rusia dan Ukraina yang sampai saat ini belum ada kepastian untuk berdamai ditambah lagi dengan memanasnya tensi antara Israel dan Palestina di Timur Tengah.
Tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, BI akan terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah, agar sejalan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian imported inflation.
Di samping intervensi di pasar valuta asing (valas), lanjutnya, BI akan mempercepat upaya pendalaman pasar uang rupiah dan pasar valas.
Termasuk optimalisasi Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan penerbitan instrumen-instrumen lain untuk meningkatkan mekanisme pasar. Baik dalam meningkatkan manajemen likuiditas institusi keuangan domestik dan menarik masuknya aliran portofolio asing dari luar negeri.
"Selain itu, BI akan terus meningkatkan dan memperluas koordinasi dengan pemerintah, perbankan, dan dunia usaha dalam pengimplementasian instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA). Hal ini akan sejalan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023," kata Ibrahim.
Dalam penutupan pasar akhir pekan, mata uang rupiah ditutup melemah 60 poin di level Rp 15.889 per dolar AS dari penutupan sebelumnya di level Rp15.815 per dolar AS. (Try/Z-7)
Keputusan BI mempertahankan suku bunga acuan di level 5,50% dipandang sebagai langkah konservatif yang tepat di tengah ketidakpastian global dan perlambatan ekonomi domestik.
Keputusan Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga acuan, atau BI Rate di level 5,50% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) 17-18 Juni 2025 dinilai sebagai langkah yang tepat.
Fixed Income Research PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia Karinska Salsabila Priyatno menilai ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga dalam waktu dekat sangat terbatas.
KETIDAKPASTIAN arah kebijakan moneter Amerika Serikat kembali menjadi perhatian setelah desakan terbuka Presiden Donald Trump agar Federal Reserve memangkas suku bunga acuan.
BTN mempertegas posisinya sebagai pemimpin pembiayaan perumahan nasional dengan menggelar Akad Kredit Massal KPR Non-Subsidi secara serentak di lima kota besar
Ketua Umum Apindo, Shinta Widjaja Kamdani, menyambut baik keputusan Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan ke 5,5%.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Senin, 30 Juni 2025, dibuka menguat 34,91 poin atau 0,51% ke posisi 6.932,31.
Apindo merespons Keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menahan suku bunga acuan di level 5,50%, tingginya suku bunga disebut menjadi penghambat lapangan kerja
BANK Indonesia(BI) mempertahankan suku bunga acuan atau BI rate di angka 5,50%. Keputusan itu diambil melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17-18 Juni 2025
LEMBAGA Penyelidik Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) menilai Bank Indonesia perlu mempertahankan tingkat suku bunga acuan, BI Rate
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved