IEA: Lonjakan Permintaan Batu Bara Hanya Bertahan Hingga 2025

Insi Nantika Jelita
20/12/2022 18:33
IEA: Lonjakan Permintaan Batu Bara Hanya Bertahan Hingga 2025
Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Barito, Kalimantan Selatan.(Antara)

BADAN Energi Internasional (IEA) memperkirakan lonjakan konsumsi komoditas batu bara hanya bertahan hingga 2025. Sebab, terdapat upaya peralihan energi fosil ke energi baru terbarukan.

Dalam laporan IEA Coal 2022, produksi batu bara diprediksi meningkat 5,4% menjadi sekitar 8,3 miliar ton pada tahun ini. Hal tersebut menjadi tertinggi sepanjang masa, atau melampaui rekor sebelumnya di 2013.

IEA’s Director of Energy Markets and Security Keisuke Sadamori mengungkapkan bahwa konsumsi batu bara akan tetap meningkat di tahun-tahun berikutnya. Dalam hal ini, jika tidak ada upaya yang lebih kuat untuk mempercepat transisi ke energi bersih. 

Pembangkit listrik berbahan bakar batu bara global diprediksi mencapai rekor baru sekitar 10,3 terawatt jam tahun ini. Meningkatnya permintaan batu bara global karena guncangan pasokan, serta tingginya harga gas, menjadi penyebab utamanya di tengah konflik Rusia-Ukraina.

Baca juga: Indonesia Dijanjikan US$20 Miliar Jika Hentikan Penggunaan Batu Bara

"Permintaan batu bara tinggi dan kemungkinan akan mencapai titik tertinggi sepanjang masa tahun ini," papar Keisuke dalam keterangannya, Selasa (20/12).

IEA mencatat harga batu bara naik ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya di Maret 2022 dan meroket pada Juni tahun ini yang sempat berada di level US$400 per ton. Hal tersebut disebabkan oleh krisis energi global, terutama lonjakan harga gas alam, serta kondisi cuaca buruk di Australia, pemasok utama internasional.

Eropa, yang sangat terpengaruh oleh pengurangan tajam aliran gas alam Rusia, akan meningkatkan konsumsi batu bara untuk tahun kedua berturut-turut. Namun, IEA memperkirakan pada 2025 permintaan batu bara Eropa akan turun di bawah level 2020.

Baca juga: MIND ID Minta Subsidi Batu Bara untuk Proyek DME

Climate Energy Finance (CEF), lembaga think tank energi, menyebut eksportir batu bara menghasilkan keuntungan yang luar biasa dan mencapai rekor tinggi pada tahun ini akibat situasi perang.

Akan tetapi, permintaan batu bara diperkirakan turun karena negara-negara memperluas kapasitas pembangkit EBT secara dramatis lebih cepat dari perkiraan. Keuntungan tak terduga dianggap menjadi sinyal penurunan sistemik yang berkelanjutan dalam jangka panjang bagi penambangan batu bara.

"Terutama mereka yang gagal mempersiapkan diri dan memutar model bisnis untuk memenuhi kebutuhan dekarbonisasi global,” jelas Direktur CEF Tim Buckley.

Adapun tiga produsen batu bara terbesar dunia, yakni Tiongkok, India dan Indonesia akan mencapai rekor produksi pada tahun ini.(OL-11)


 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya