Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

RUPTL Baru Jadi Bukti Pemerintah tidak Serius Jalankan Transisi Energi

Insi Nantika Jelita
12/6/2025 10:33
RUPTL Baru Jadi Bukti Pemerintah tidak Serius Jalankan Transisi Energi
Ilustrasi(Antara)

Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 dinilai berpotensi menghambat momentum Indonesia dalam merealisasikan transisi energi. Dalam laporan terbaru Center for Research on Energy and Air (CREA) berjudul Indonesia’s RUPTL outlines faster growth in fossil fuel use, downgrades ambition for clean energy, disebutkan bahwa  RUPTL baru itu akan membuat batu bara dan gas masih mendominasi pasokan listrik Indonesia dalam 10 tahun ke depan. Bahkan, RUPTL terbaru justru mendorong penambahan pembangkit listrik energi fosil secara signifikan pada 2025-2029.

"Kondisi tersebut berisiko membuat Indonesia kehilangan momentum untuk merealisasikan transisi energi," ujar Analis Utama CREA Lauri Myllyvirta dalam keterangan resmi, Kamis (12/6).

Lebih lanjut, dia menjelaskan mengacu RUPTL 2025-2034, pembangkitan listrik berbahan bakar batu bara dan gas nasional akan meningkat hingga 40% dari 285 terawatt hour (TWh) pada 2024 menjadi 406 TWh pada 2034. Bahkan, jika dibandingkan RUPTL 2021-2030, pembangkitan listrik berbasis energi fosil juga akan lebih tinggi 10% menjadi 367 TWh pada 2030, mengacu RUPTL baru. Menurut Lauri, ketergantungan penggunaan batu bara dan perluasan signifikan proyek gas dalam RUPTL terbaru justru menjadi langkah mundur dengan semangat transisi energi Indonesia. 

"RUPTL ini merupakan kemunduran signifikan upaya transisi energi Indonesia," imbuhnya.

Dalam rencana ini, Indonesia dinilai akan mengalami kesulitan untuk mencapai batas emisi karbon sebesar 290 juta ton CO2 untuk sektor listrik pada 2030 seperti yang telah ditetapkan dalam JETP.

Mengacu RUPTL baru, kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan hanya 17 gigawatt (GW) hingga 2030, lebih rendah dibandingkan 20,9 GW pada rentang waktu yang  sama menurut RUPTL lama. Target penambahan energi surya dan angin dalam RUPTL baru sebesar 10,6 GW hingga 2030, juga hanya 40% dari target dalam dokumen investasi JETP 24,3 GW.

Lauri  berpendapat keengganan Indonesia berkomitmen dalam energi terbarukan tak hanya mengabaikan target iklim, tapi juga berisiko gagal memanfaatkan kesempatan emas menarik investasi hijau. Serta, menjaga keunggulan kompetitif Indonesia sebagai pemimpin energi bersih di Asia Tenggara. 

"Langkah ini dapat mengakibatkan hilangnya momentum penting yang dibutuhkan negara yakni mengamankan investasi energi bersih," imbuhnya.

Analis CREA Katherine Hasan menyatakan, pihaknya mendorong target energi terbarukan dalam RUPTL yang lebih agresif dan selaras dengan target iklim Kemitraan Transisi Energi yang Adil Indonesia (JETP). Selain itu, CREA juga menekankan urgensi pemantauan yang ketat proyek energi terbarukan, mengingat perlunya meminta pertanggungjawaban PT PLN (Persero) atas komitmen dalam RUPTL.

CREA juga mendesak ditetapkannya jalur pensiun batu bara nasional yang menentukan tahun spesifik penghentian operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), baik yang terhubung jaringan PT PLN (Persero) maupun tidak (PLTU captive), yang tidak disebutkan sama sekali dalam RUPTL terbaru. 

Menurut Katherine, jika Presiden Prabowo Subianto ingin mencapai visi masa depan bebas fosil dan mandiri energi pada 2040, diperlukan perubahan nyata dan agresif dalam rencana jangka pendek RUPTL.

"Perubahan itu dengan ditetapkannya jalur pensiun pembangkit batu bara yang jelas dan percepatan penyebaran energi terbarukan," tutupnya. (E-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika
Berita Lainnya