SEKTOR usaha mikro kecil (UMK) yang mendominasi lanskap kewirausahaan di Indonesia sangat banyak melibatkan perempuan, sebagai pemilik maupun pekerja, dan dibutuhkan kemudahan birokrasi untuk meningkatkan peran ekonomi mereka.
"Perkembangan sarana digital memberikan kemudahan bagi para pelaku usaha perempuan untuk dapat memulai usaha dari rumah sambil menjalani perannya sebagai ibu rumah tangga. Sehingga kewajiban perizinan harus diatur agar tidak perlu melalui proses yang panjang dan mahal," jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan dikutip dari siaran pers, Senin (30/5).
Perkembangan UMK sering terhambat kewajiban untuk memenuhi beberapa izin usaha. Selain izin usaha reguler, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mewajibkan penjual daring dengan laman sendiri untuk mendapatkan izin melalui Permendag 50/2020.
Namun, lanjut Pingkan, sebagian besar usaha mikro tidak menyadari kewajiban perizinan ini atau menganggap proses pengurusannya terlalu panjang dan mahal. Ketidakpatuhan ini menutup peluang mereka memasuki pasar digital, dan merongrong upaya pemerintah mencapai 30 juta UMKM digital pada 2024.
"Digitalisasi atau penggunaan internet dalam transaksi jual beli menjadi salah satu cara efektif agar pengusaha UMKM tetap dapat menjalankan usahanya. Peluang pengembangan usaha secara digital dapat dilihat dari laporan Google, Temasek, dan Bain & Company (2020) yang menyatakan bahwa terdapat peningkatan konsumen digital sebanyak 37 persen akibat pandemi," tambahnya.
Untuk membantu UMKM perempuan bertahan dan beradaptasi dengan keadaan, Penelitian CIPS antara lain merekomendasikan perlunya upaya perbaikan data UMKM, yang terpilah secara gender dan rutin diperbaharui untuk penyusunan strategi berkelanjutan bagi mereka.
Baca juga : Sepanjang 2021, Pengguna GoTo Meningkat 37%
Basis data UMKM yang transparan, komprehensif, dan terpilah secara gender ini akan membantu pembuat kebijakan merancang intervensi yang dibutuhkan untuk membantu usaha-usaha mikro milik perempuan.
Dengan data ini, para pemangku-kepentingan non-pemerintah juga diharapkan dapat membuat inisiatif-inisiatif yang lebih berdasar untuk mendukung usaha-usaha mikro milik perempuan.
Diperlukan juga aksi yang terkoordinasi dan sensitif gender dalam peta jalan transformasi digital dan strategi nasional ekonomi digital. Tersebarnya upaya digitalisasi di tanah air di tangan 12 lembaga pemerintah, membuat koordinasi menjadi kurang maksimal, khususnya dalam mengatasi tantangan-tantangan usaha mikro milik perempuan.
Peta Jalan Transformasi Ekonomi Digital 2021–2024 dan Strategi Nasional Ekonomi Digital sebaiknya diterbitkan dalam bentuk Peraturan Presiden untuk menjamin pelaksanaannya oleh lembaga eksekutif di berbagai kementerian dan lembaga pemerintahan terkait.
Yang terakhir Permendag nomor 50 tahun 2020 perlu direvisi untuk membebaskan usaha mikro dari perizinan untuk berpartisipasi dalam perdagangan elektronik. Perizinan ini dapat menghalangi mereka meraih potensi pasar yang optimal dengan memanfaatkan digitalisasi perdagangan melalui ragam platform digital.
Formalisasi usaha melalui PP Nomor 5/2021, PP Nomor 80/2019, dan Permendag Nomor 50/2020 harus diterapkan secara berhati-hati agar tidak menjadi disinsentif bagi para pelaku usaha dalam memasuki platform digital dan memanfaatkan infrastruktur digitalisasi perdagangan yang ada. (OL-7)