MELEMAHNYA kinerja belanja pemerintah pada triwulan I 2022 menjadi hal yang disoroti oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Pemerintah diminta untuk memperbaiki kinerja belanja negara untuk menjaga momentum dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Konsumsi pemerintah ini macet pada triwulan I 2022 karena pertumbuhannya minus. Kita melihat bahwa pemerintah di dalam konteks ini kurang berperan dalam perekonomian triwulan I," ujar Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto dalam diskusi secara daring, Rabu (11/5).
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) konsumsi pemerintah mengalami pertumbuhan minus 7,74% dan berkontribusi 5,49% pada Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal dalam dua tahun terakhir konsumsi pemerintah selalu tumbuh baik dan mampu mendorong perekonomian nasional.
Eko menyayangkan kinerja tersebut. Sebab, berdasarkan laporan Kementerian Keuangan mengenai kinerja APBN, dalam tiga bulan pertama di 2022 penerimaan negara tercatat sekitar Rp500 triliun, naik dari periode yang sama di tahun sebelumnya di angka Rp379 triliun.
Namun peningkatan penerimaan negara itu justru tak diikuti dengan peningkatan belanja negara.
"Seandainya saja tren belanja ini mengikuti dari tren penerimaan, maka kemungkinan kita bisa melihat pertumbuhan ekonomi di triwulan I itu mungkin 5% lebih," kata Eko.
Selain itu, 15 kementerian dengan alokasi anggaran terbesar juga mengalami penurunan kinerja belanja. Karenanya, Eko berpendapat, peranan APBN dan fiskal pemerintah tergolong minim dalam perekonomian di triwulan I.
"Jadi seolah-olah rasa pertumbuhan ekonomi itu berasal dari ekspor dan konsumsi masyarakat, bukan dampak dari kebijakan APBN atau pun fiskal pemerintah," tuturnya.
Baca juga : Menko Airlangga Dorong Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan di Jawa Barat
"Tradisi pola belanja pemerintah yang menumpuk di akhir tahun membuat daya ungkit konsumsi pemerintah tidak optimal mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional," lanjut Eko.
Di kesempatan yang sama, Peneliti Center of Macroeconomics and Finance dari Institute for Development of Economics and Finance (Inded) Abdul Manap Pulungan mengatakan, dukungan stimulus pemerintah pada triwulan I 2022 cukup rendah. Padahal dukungan pemerintah masih amat diperlukan untuk memompa laju pertumbuhan ekonomi di masa pemulihan.
Dana program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2022 misalnya, baru terealisasi Rp70,37 triliun, atau 15,4% dari total pagu Rp455,62 triliun. Selain itu, transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) juga belum berperan optimal dalam pertumbuhan di triwulan I 2022.
Pasalnya dari realisasi TKDD yang telah mencapai 22,93%, hanya 9,4% digunakan untuk belanja modal. Angka itu menunjukkan penurunan 45,26% (yoy). Hal tersebut juga menandakan pemerintah daerah tidak berbuat banyak dalam perekonomian nasional.
Pasalnya, saldo rekening daerah pada Februari 2022 tercatat Rp189,30 triliun dan dana TKDD dilakukan sebesar Rp110,49 triliun. Namun pemda baru membelanjakan 17,21% dari total dana yang ada.
"Jadi wajar saja kalau dari konsumsi pemerintah pada triwulan I ini sangat rendah," pungkas Abdul.
Sementara, sebelumnya Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, APBN akan terus dijadikan peredam kejut (shock absorber) dari berbagai dinamika ke depan. Hal tersebut bertujuan agar pemulihan ekonomi tetap berlanjut sekaligus menguat.
"APBN terus didorong sebagai shock absorber untuk tetap menjaga pemulihan ekonomi agar tetap berlanjut dan semakin menguat, menjaga penangan kesehatan dan melindungi daya beli masyarakat miskin dan rentan, dan menjaga agar pengelolaan fiskal lebih sehat dan berkelanjutan dalam jangka menengah," kata Febrio melalui keterangannya, Senin (9/6). (OL-7)