Headline
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
INFLASI Amerika Serikat (AS) akhirnya menyentuh 8,5% (yoy). Itu menjadi kenaikan inflasi tertinggi sejak 1981 silam. Kondisi ini memberikan gambaran betapa mahalnya barang-barang di Negeri Paman Sam.
Pun, ini menjadi tanda bagi Bank Sentral AS (The Fed) untuk menaikkan tingkat suku bunga acuan secara lebih agresif untuk menangani inflasi. Biaya energi, seperti bensin, telah mendorong setengah dari kenaikan bulanan, yang ditambah dengan kontribusi dari sisi makanan.
Diketahui, inflasi inti AS juga naik 0,3%. Inflasi barang inti yang lebih lambat, sebetulnya diimbangi dengan inflasi jasa yang lebih tinggi. Melihat situasi dan kondisi yang terjadi, tentu The Fed harus menaikkan tingkat suku bunga secepatnya. Namun, juga harus memperhatikan bobot kenaikan tingkat suku bunga.
Baca juga: Eropa Menghadapi Ketidakpastian yang Semakin Besar
Apabila permintaan barang mulai berkurang, The Fed memiliki takaran yang terukur. Kenaikan tingkat suku bunga tidak hanya melihat dari sisi inflasi.
"Gambaran bagi The Fed, bahwa inflasi secara antar tahun tidak akan berakhir di kisaran 2%, tetapi untuk berada di atas target," ujar Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus, Kamis (14/4).
Tingginya inflasi di AS membuat tekanan tidak hanya berada dalam The Fed, namun juga pada Presiden AS Joe Biden. Dia mulai dianggap gagal mengendalikan inflasi. Pada waktu yang bersamaan, risiko inflasi akan mendorong perekonomian menjadi resesi.
Tidak hanya AS, inflasi Inggris juga naik hingga 7%, atau tertinggi dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Otomatis, Bank Sentral Inggris langsung bergerak karena inflasi mengalami kenaikan akibat lonjakan biaya energi sebesar 54%.
Baca juga: Inflasi AS Berpotensi Resesi Ekonomi Dunia
Bank Sentral Inggris memproyeksikan bahwa inflasi akan mencapai 8% dalam beberapa bulan mendatang. Ada kemungkinan tingkat suku bunga kembali naik pada Mei 2022. Itu menjadi bagian dari respons tingginya inflasi.
Kemudian, Bank Sentral Selandia Baru resmi menaikkan tingkat suku bunganya sebanyak 50 bps, dari sebelumnya 1% menjadi 1,5%. Itu kenaikan tertinggi dalam kurun waktu 22 tahun terakhir. Hal ini menjadi tanda bagi Bank Sentral di seluruh dunia untuk mulai menaikkan tingkat suku bunga.
"Melihat sikap dari berbagai Bank Sentral di seluruh dunia, mereka tidak ragu, tidak bimbang untuk menaikkan tingkat suku bunga. Mereka melakukan apa yang seharusnya dilakukan," pungkas Nico.(OL-11)
Bank Sentral Amerika (AS) atau The Federal Reserve (The Fed) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan untuk kelima kalinya tahun ini.
Bank Indonesia (BI) dan Bank Prancis atau Banque de France (BdF) menyepakati penguatan kerja sama bilateral di area kebanksentralan.
Bank Indonesia bakal menambah besaran insentif dalam Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM) di 2025 menjadi Rp283 triliun.
LPEM FEB UI mendesak Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan BI-Rate pada level 6% pada Rapat Dewan Gubernur BI November 2024.
BANK sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) kembali memangkas suku bunga acuan dengan besaran 25 basis poin (bps) menjadi 4,50-4,75% pada Kamis (7/11) waktu AS
INDEKS Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Jumat (27/9) sore ditutup melemah di tengah penguatan mayoritas bursa saham kawasan Asia.
Presiden Donald Trump kembali mengancam India akan menaikan tarif impor, sebagai respon pembelian minyak dari Rusia.
RATUSAN mantan pejabat tinggi keamanan Israel menyerukan kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menggunakan pengaruhnya menekan pemerintah Israel.
Nilai tukar rupiah, pada perdagangan Senin 4 Agustus 2025, dibuka menguat sebesar 104 poin atau 0,63% menjadi Rp16.409 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.513 per dolar AS.
Wakil Perdana Menteri Kamboja Sun Chanthol mengatakan negaranya tidak mungkin sepakat mengakhiri perang dengan Thailand tanpa kontribusi Donald Trump,
Jerman telah menjadi pemasok bantuan persenjataan terbesar kedua bagi Ukraina setelah Amerika Serikat.
Kebijakan Donald Trump ini akan berlaku mulai 7 Agustus dan bertujuan mengubah sistem perdagangan internasional demi kepentingan ekonomi nasional Amerika Serikat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved