Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Indef: Pemerintah juga Untung dari Lonjakan Harga Minyak

M Ilham Ramadhan Avisena
04/3/2022 19:36
Indef: Pemerintah juga Untung dari Lonjakan Harga Minyak
Kilang Pertamina Plaju.(MI/Dwi Apriani.)

DIREKTUR Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengingatkan pemerintah untuk tidak memangkas subsidi minyak saat ini. Soalnya, lonjakan harga minyak dunia turut meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan pajak.

"Harus (tetap diberikan subsidi), tidak mungkin pemerintah mau untung saja di pendapatan negara dan subsidi tidak ditambah. Kalau tidak diberikan (subsidi), ya kasihan masyarakat kecil," ujarnya kepada Media Indonesia, Jumat (4/3).

Tauhid mengatakan, naiknya harga minyak turut meningkatkan penerimaan negara lantaran Indonesia juga merupakan pengekspor minyak mentah. Dengan begitu, semestinya pemerintah masih bisa menyubsidi harga minyak maupun BBM di dalam negeri melalui tambahan pendapatan tersebut.

Bila subsidi tidak dilakukan, otomatis Pertamina selaku penyuplai minyak bakal menaikkan harga atau mengurangi jumlah volume BBM. Hal itu, kata Tauhid, akan berdampak besar pada penurunan daya beli masyarakat.

"Jadi kalau dibilang dilematis itu tidak tepat. Karena pada saat yang sama pemerintah untung dari kenaikan harga minyak juga. Masih ada selisih dan itu surplus dalam hitungan saya terkait kenaikan minyak ini. Kalau gas memang kita ada defisit, karena itu kontrak jangka panjang dan itu tidak bisa diutak-atik, jadi ya agak rugi juga," ujarnya.

Dari kajian Indef yang dirilis beberapa waktu lalu disebutkan bahwa kenaikan harga ICP US$1 per barel akan menambah pendapatan negara Rp3 triliun dan di sisi belanja negara ada tambahan Rp2,6 triliun. Karenanya, diperkirakan masih ada surplus sekitar Rp400 miliar.

Berdasarkan skenario itu, ada selisih dengan asumsi ICP dalam APBN 2022 sebesar US$37 per barel. Selisih tersebut akan berdampak pada penmbahan pendapatan negara sebesar Rp111 triliun, tetapi juga akan berdampak pada penambahan belanja negara sebesar Rp96,2 triliun.

Dus, dengan skenario ICP pada harga US$100 per barel, diperkirakan negara masih surplus anggaran sebesar Rp14,8 triliun. "Selisih itu terlalu jauh. Di asumsi makro APBN minyak itu US$63, sekarang sudah US$115. Tidak akan kredibel APBN kalau masih menggunakan asumsi US$63," jelas Tauhid.

Baca juga: Saham Saudi Aramco Sentuh Rekor Tertinggi Baru

Lebih lanjut dia mengatakan pemerintah sedianya bisa menjaga kestabilan harga BBM dalam negeri dengan menyesuaikan harga BBM nonsubsidi. Namun hal itu perlu dilakukan secara bertahap dan didukung dengan penghitungan yang mantap. "Tapi timing-nya jangan buru-buru. Tunggulah sampai tiga bulan sampai ketemu harga tengah. Jadi, bukan US$115, tetapi dalam tiga bulan itu bisa dilihat nilai tengah dari asumsi makro US$63 sampai batas terakhir/tertinggi, ambil nilai tengah dengan nilai harian dan gunakan itu sebagai perhitungan," pungkas Tauhid. (OL-14)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya