Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

Rusia-Ukraina Masih Memanas, Harga Minyak dan Emas Menanjak

Fetry Wuryasti
15/2/2022 10:57
Rusia-Ukraina Masih Memanas, Harga Minyak dan Emas Menanjak
Ilustrasi pompa minyak di ladang minyak di Los Angeles, California, Amerika Serikat.(Mario Tama/Getty Images/AFP)

SITUASI dan kondisi potensi perang antara Ukraina dengan Rusia, telah mendorong naiknya harga minyak dan emas. Harga minyak WTI melonjak dari US $93,10 per barel, menjadi berada di US $ 95,46 per barel.

"Ini merupakan yang tertinggi bagi harga minyak sejak tahun 2014 silam. Kenaikan harga minyak yang mendunia seperti ini akan membuat inflasi kembali naik. Hal ini akan membuat biaya energi semakin mahal," kata Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus, Selasa (15/2).

Di global, kenaikan harga minyak cukup mengkhawatirkan bagi The Fed dan berbagai Bank Sentral dunia lainnya. Sebab mereka akan melakukan pengetatan moneter karena inflasi mulai naik terus menerus.

Di sisi lain, Para Menteri Keuangan G20 akan berkumpul minggu ini untuk pertama kalinya untuk membahas mengenai inflasi dan bagaimana cara menanganinya dengan baik.

Baca juga: Sekjen PBB Sebut Sudah Waktunya Meredakan Krisis Ukraina

Secara perhitungan, dengan kenaikan harga minyak dari US $70 menjadi US $100, akan mendorong inflasi sekitar 1,5% bagi inflasi di Amerika dan Eropa pada paruh kedua tahun ini.

Lembaga perbankan dan investasi JP Morgan telah memberikan peringatan apabila harga minyak naik hingga US $150 per barel, ini akan membuat ekspansi global terhenti dan inflasi di Amerika akan memuncak hingga lebih dari 7%, atau lebih dari 3x peningkatan yang ditargetkan oleh para pembuat kebijakan moneter.

Bank investasi Goldman Sachs sendiri melihat kenaikan harga minyak hingga US $100 dan konsisten hingga kuartal III 2022, yang akan mendorong inflasi naik hingga 0,6%, dengan kondisi negara berkembang yang paling terpukul saat ini.

Harga minyak yang mendorong inflasi terus menguat, membuat The Fed dan berbagai Bank Sentral lain mendesak untuk menghadapi inflasi. Mereka tentu akan mempersiapkan kenaikan tingkat suku bunga agar lebih cepat untuk mengalami kenaikan.

Minyak, batu bara, dan gas alam telah menjadi bagian dari 80% energi ekonomi global, dan saat ini biayanya telah naik hampir 50% dari tahun lalu.

"Memang, ini semua karena konflik antara Rusia dan Ukraina yang tidak kunjung membaik, dan justru semakin keruh. Meski kami meyakini Rusia tahu konsekuensi yang harus dihadapi bila memang perang dilakukan," kata Nico.

Sejauh ini potensi hal tersebut terjadi tidak terlalu besar, karena tatanan dunia yang sudah jauh lebih baik dari yang dulu. Dari sisi faktor yang lain, krisis energi dalam rantai pasokan juga menjadi tekanan tambahan yang mendorong harga minyak mengalami kenaikkan termasuk masalah biaya.

Hal inilah yang membuat IMF menaikan proyeksi inflasi bagi negara maju dari sebelumnya 2,3% menjadi 3,9%. dan 5,9% bagi negara berkembang.

Hal ini yang tengah dilihat oleh Andrew Bailey, Gubernur Bank Sentral Inggris yang kemarin menaikan tingkat suku bunga, dengan mengatakan keputusan itu dibuat karena inflasi mengalami kenaikan akibat adanya tekanan dari biaya energi.

Bank Sentral Eropa juga akan langsung memeriksa terkait dengan dampak kenaikan harga energi bagi perekonomian negaranya. Tentu saja salah satu yang menjadi poin adalah kenaikan inflasi yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Ini akan memicu atau mendorong Bank Sentral Eropa untuk menaikan

tingkat suku bunga lebih cepat lagi. Bank Sentral India juga mengatakan bahwa harga minyak yang terus menerus naik akan menjadi salah satu risiko yang harus dikendalikan.

"Kami melihat bahwa setiap kenaikan harga minyak sebesar US $10 per barel, akan menurunkan 0.l,1% pertumbuhan ekonomi di tahun berikutnya," kata Nico.

Sejauh ini situasi dan kondisi antara Ukraina dan Rusia, masih dalam keadaan yang cukup menegangkan. Pasalnya masih banyak poin yang harus didiskusikan agar Rusia mau menarik pasukannya.

Amerika mengatakan bahwa invasi mungkin saja akan segera terjadi apabila antara Rusia dan Amerika tidak mencapai kata sepakat.

Amerika dan berbagai sekutunya di Eropa sudah meminta Rusia untuk menarik kembali sekitar 130.000 tentaranya yang berkumpul dengan perbatasan, meskipun Rusia selalu menolak tuduhan akan invasi.

Amerika dan Eropa telah mengkonfirmasi, apabila invasi terjadi, maka mereka akan memberikan hukuman yang berat dari sisi ekonomi yang cukup menekan Rusia. Upaya diplomasi tetap berjalan, namun tekanan akan seperti biasa dirasakan oleh pasar pertama kali.

Ketidakpastian geopolitik akan menjadi salah satu yang harus diperhatikan pekan ini, khususnya secara dampak yang tidak hanya pada satu sisi. Namun juga banyak sisi yang akan terjadi.

Harga minyak ini sesuai dengan prediksi sekuritas, yang memperkirakan harga minyak dengan tingkat probabilitas 81% akan menuju US $96,70 per barel dengan exit di US $81,90 per barel. Secara jangka panjang, harganya akan relatif stabil di rentang US $90 – US $95.

"Begitupun juga dengan emas, diperkirakan akan naik dengan tingkat probabilitas 74% menuju US $1.860 per troy ons. Harap perhatikan pergerakan sahamnya yang berkorelasi positif terhadap minyak dan emas, karena berpotensi mengalami kenaikan meski indeks berpotensi terkoreksi," kata Nico. (Try/OL-09)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri
Berita Lainnya