Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Mitigasi Perubahan Iklim, Energi Fosil Masih Dibutuhkan 

M. Ilham Ramadhan Avisena
10/11/2021 17:38
Mitigasi Perubahan Iklim, Energi Fosil Masih Dibutuhkan 
Kilang Pertamina Internasional Plaju di Sumsel(MI/Dwi Apriani)

INDONESIA telah meletakkan komitmen untuk berperan aktif dalam mengurangi emisi karbon sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. Hal itu disampaikan dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2021 di Glasgow, beberapa waktu lalu. 

Salah satu upaya mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) itu dilakukan dengan menekan penggunaan energi fosil. Seiring dengan itu, Indonesia akan beralih pada penggunaan energi bersih dan ramah lingkungan secara bertahap. 

Namun upaya pengurangan emisi GRK itu tampak bertolak belakang dengan peta jalan energi yang telah disusun pemerintah. Pasalnya, volume penggunaan energi fosil justru akan bertambah besar. 

Bertambahnya volume energi fosil itu dilandasi pada perkiraan kebutuhan energi nasional. Kebutuhan batu bara misalnya, di 2020 tercatat mencapai 104,8 juta ton equivalen minyak (MTOE), naik di 2030 menjadi 147,5 MTOE, dan di 2050 menjadi 255,9 MTOE. 

Naiknya kebutuhan energi fosil diperkirakan juga terjadi pada minyak. Di 2020, kebutuhan minyak mencapai 82 juta barel, naik di 2030 menjadi 112,9 juta barel, dan di 2050 menjadi 242,9 juta barel. 

Namun demikian, secara persentase dua energi fosil itu berkurang setiap periodenya. Hal itu terjadi karena porsi energi baru terbarukan (EBT) akan meningkat setiap tahunnya. Di 2020, porsi EBT pada energi bauran nasional mencapai 38,5 MTOE, naik di 2039 menjadi 130,5 MTOE, dan di 2050 menjadi 315,7 MTOE. 

Dus, porsi EBT di 2050 pada bauran energi nasional mencapai 31%, lebih tinggi dari porsi energi batu bara (25%), minyak (20%), dan gas (24%). Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menilai kebutuhan energi fosil tetap meningkat secara volume kendati porsi EBT mengalami kenaikan tiap tahunnya. 

Karenanya, untuk memenuhi kebutuhan itu diperlukan peningkatan kapasitas produksi agar Indonesia tak perlu berlebih melakukan impor energi. 

"Produksi yang kita ingin naikan karena itu kebutuhan energi nasional. Kalau itu tidak dikejar, yang terjadi adalah kita akan impor, kita akan kehilangan devisa," tutur Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto dalam diskusi daring bertajuk Masa Depan Industri Hulu Migas Indonesia, Rabu (10/11) . 

Baca juga : Sektor Swasta Siap Akselerasi Transisi Energi Indonesia

"Jadi target produksi tadi itu kaitannya dengan bagaimana kita mengamankan suplai energi nasional," tambahnya. 

SKK Migas diketahui menargetkan produksi minyak hingga 1 juta barel per hari dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BOPD) di 2030. Dwi bilang, produksi minyak dibutuhkan untuk mengamankan kebutuhan nasional, dan produksi gas itu dibutuhkan untuk mendukung transisi energi. 

Guna mencapai target tersebut, SKK Migas memiliki empat strategi, yakni, mengoptimalisasi aset yang telah dimiiliki, melakukan transformasi sumber produksi, mengoptimalisasi Enchanced Oil Recovery (EOR) di Wilayah Kerja (WK) Rokan, dan menggalakkan eksplorasi untuk menunjang masa setelah 2030. 

Di kesempatan yang sama Direktur Utama PT Medco Energi Internasional Hilmi Panigoro mengungkapkan, komitmen Indonesia memitigasi perubahan iklim tak selayaknya disamakan dengan negara-negara Uni Eropa atau Amerika Serikat. Menurutnya, menghilangkan sama sekali energi fosil dari bauran energi nasional justru akan melahirkan masalah baru. 

"Kalau kita berhenti eksplorasi di migas dan mengandalkan lapangan yang ada, dan infrastruktur EBT belum terbentuk, harga minyak itu bisa naik 3 kali lipat. Kenaikan yang tiba-tiba terjadi di demand dan supply belum recover itu akan menyebabkan kenaikan harga, dan kita tidak ingin itu terjadi," jelasnya. 

"Indonesia, ASEAN itu unik, tidak bisa dibandingkan dengan Uni Eropa dan AS. Kita komit, tapi kita harus realistik, kita harus make sure menyediakan energi yang aforddable dan sustainable," tambahnya. 

MedcoEnergi, kata Hilmi, turut mendukung komitmen pemerintah memitigasi perubahan iklim dengan mengurangi emisi karbon dari bisnis yang dijalankan perusahaan. Upaya menekan emisi karbon itu dilakukan dengan menetapkan target emisi net zero scope 1 hingga 3. 

Pada scope 1, perseroan akan mengurangi emisi GRK langsung, dan scope 2 mengurangi emisi GRK dari konsumsi energi tidak langsung. Dua scope itu ditargetkan tercapai pada 2050. Sedangkan scope 3, MedoEnergi berkomitmen mengurangi emisi GRK dari konsumsi energi tidak langsung lainnya di dalam value chain produksi pada 2060. 

"Kita berhasil menurunkan emisi GRK antara 2018-2020, dan yang lebih penting adalah intensitasnya kita berhasil turunkan baik di migas, maupun di ketenagalistrikan dari 258 menjadi 218 kilo ton CO2 per juta ton oil equivalen," jelas Hilmi. (OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya