Pemerintah Perlu Memperluas  Tax Base  dan  Tax Ratio

Mediaindonesia.com
10/8/2021 11:50
Pemerintah Perlu Memperluas  Tax Base  dan  Tax Ratio
Spanduk yang mengajak masyarakat untuk membayar pajak(Antara/Wahyu Putro)

PEMERINTAH  saat ini membutuhkan dana besar untuk menanggulangi pandemi Covid 19 yang sudah berjalan dua tahun serta membiayai  pemulihan ekomomi. 

Di sisi lain penerimaan pajak setiap tahunnya tidak pernah mencapai target. Oleh karena itu, untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak, pemerintah perlu memperluas  tax base  (jenis barang dan jasa yang  dikenai pajak), tax ratio, dan menaikan PPN (pajak pertambahan nilai) dari semula 10% menjadi 12%. 

Ketiganya dimasukan dalam usulan Perubahan Kelima atas Undang – undang Perubahan  No 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU Perpajakan) yang sedang dibahas bersama  Dewan Perwailan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). 

Hal tersebut disampaikan Peneliti Ekonomi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI)   Christine Chen serta dosen dan peneliti pada Pusat Pengkajian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Universitas Brawijaya, Imanina kepada pers di Jakarta, Senin (9/8). 

“RUU Perpajakan yang baru, (dibuat) untuk mengakomodasikan perpajakan, baik di dalam maupun luar negeri. Perbaikan UU Perpajakan tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga dunia internasional,” Papar Christine. 

Christine memberikan contoh, kenaikan PPN yang diusulkan pemerintah sebesar 12% dari yang saat ini 10%. Usulan Kenaikan PPN bukan hanya dilakukan pemerintah Indonesia . Negara negara lain yang tergabung dalam OECD (Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan), bahkan menaikan PPN sebesar 15%. 

Selain mengusulkan kenaikan PPN  dari 10 % menjadi 12%, menurut Christine, untuk azas keadilan pemerintah sedang mempertimbangkan pengenaan PPN 12% dan 15% atau dengan sistem multitarif untuk produk dan jasa tertentu, akan dikenakan PPN sebesar 12%. Sedangkan untuk jasa dan produk  yang lainnya akan dikenakan PPN sebesar 15%.

“ Pengenaan PPN dengan multitarif,  argumentasi dari  pemerintah adalah untuk meningkatkan keadilan. Menurut pemerintah akan ada tarif yang spesial seperti misalnya beras  kualitas prima dari luar negeri akan dikenakan tarif PPN  yang lebih tinggi dibandingkan beras dalam negeri yang  sama sama dijual di supermarket kelas atas. Sementara penjualan beras di pasar tradisional tidak dikenakan pajak. Alasannya untuk menunjukkan keadilan. Namun demikian, penerapan sistem multitarif akan menimbulkan administrasi yang lebih rumit. Apakah kita sudah siap menerapkan PPN Multi Tarif?,” tanya  Christine. 

Sebagai pengamat dan peneliti ekonomi, Christine mengaku lebih setuju dengan pengenaan PPN single tarif. Yakni 12% untuk semua jenis obyek pajak jasa maupun produk. Alasannya, karena sistem ini lebih sederhana dan mudah diterapkan oleh pemerintah maupun pihak lain. 

Pendapat senada disampaikan, dosen yang juga peneliti Pusat Pengkajian Kebijakan Ekonomi Universitas Brawijaya Malang, Imanina. Menurutnya, di masa pandemi Covid 19 ini tak dapat dipungkiri,  penerimaan negara mengalami tekanan berat. Hampir semua sektor perekonomian mengalami pelemahan dan menyebabkan penerimaan perpajakan tidak optimal. 

Baik Imaninar maupun Christine sepakat, pemerintah perlu memperluas tax base (basis penerimaan pajak ) dalam rangka meningkatkan penerimaan ataupun pencapaian target pajak. Salah satunya pajak karbon bagi perusahaan maupun individu yang kegiatan usahanya dapat mencemari lingkungan. 

“Pajak karbon sendiri sebenarnya memang telah lama diterapkan di beberapa negara, bahkan penjelasannya pun ada dalam teori perpajakan. Pada dasarnya tujuan pajak karbon adalah baik, karena tujuannya untuk kebaikan lingkungan yakni mendorong pengurangan emisi karbon. Di sisi lain pajak karbon dapat mendorong penerimaan negara,” papar Imanina. 

Selain pajak karbon, Imanina juga melihat demi keadilan di bidang perpajakan, sekaligus meningkatkan rasio pajak dan penerimaan negara dari sektor pajak, pemerintah perlu mengenakan cukai bagi industri soda dan plastik, maupun objek pajak lainnya. Mengkonsumsi soda dalam jangka panjang juga membahayakan kesehatan. Sementara penggunaan plastik jangka pendek maupun jangka panjang juga mengganggu lingkungan hidup. 

Menurut Imaninar,  saat ini pemerintah tidak bisa terus bergantung pada Industri Hasil Tembakau (IHT) dengan terus menerus menaikkan tarif cukainya. Hal itu karena konsekuensi dari kenaikan cukai yang eksesif dan terus menerus yang dilakukan pemerintah tidak hanya berdampak negatif pada keberlangsungan IHT saja, tetapi juga memicu semakin maraknya peredaran rokok ilegal. Hal itu justru dapat menjadi bumerang  berupa hilangnya potensi penerimaan negara. 

Karena itu, agar IHT tidak terus menerus menjadi andalan pendapatan negara dari cukai, menurut Imanina pemerintah perlu meningkatkan tax base atau barang barang lain yang  kena cukai. Beberapa dibantaranya adalah plastik, soda atau sugar tax 

“Barang kena cukai yang telah diterapkan di beberapa negara lain dapat diadopsi oleh Indonesia untuk dapat menjadi alternatif penerimaan cukai pemerintah." (R0/E-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Raja Suhud
Berita Lainnya