Headline

Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Sejak 2005, Pemerintah Lakukan PMN Sebesar Rp441 Triliun

M. Ilham Ramadhan Avisena
26/8/2020 14:50
Sejak 2005, Pemerintah Lakukan PMN Sebesar Rp441 Triliun
Menteri Keuangan. Sri Mulyani(Antara)

KEMENTERIAN Keuangan mencatat hingga akhir tahun 2019 pemerintah telah melakukan investasi kepada Perusahaan Badan Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum (BLU) sebesar Rp441 triliun.

Besaran investasi itu berasal dari Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada BUMN dan BLU dalam bentuk tunai Rp202 triliun, non tunai Rp17,3 triliun dan investasi awal pembentukkan BLU sebesar Rp222,3 triliun.

“Terhadap berbagai investasi pemerintah sejak 2005 hingga 2019. Jadi total yang disebut investasi pemerintah keapda BUMN, BLU, cash dan non cash itu sebesar RP441 triliun,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Rabu (26/8).

Bendahara negara, lanjut dia, melakukan evaluasi terhadap investasi yang dilakukan pemerintah selama 14 tahun tersebut. Evaluasi itu berkaitan dengan penggunaan PMN seperti optimalisasi aset, kinerja neraca hingga dampak ekonomi sosial. BUMN maupun BLU itu dibagi menjadi beberapa klaster kegiatan seperti infrastruktur, sektor pangan, transportasi dan logistik, real estate dan perumahan, UMKM, sektor energi, industri pengolahan dan bidang lainnya.

Sri Mulyani merinci, pada sektor infrastruktur, pemerintah telah melakukan PMN sebesar Rp197 triliun, sektor pangan Rp13,4 triliun, transportasi dan logistik Rp4,9 triliun, real estate dan perumahan Rp44,6 triliun, UMKM Rp96,6 triliun, sektor energi Rp51,8 triliun, industri pengolahanRp13,7 triliun dan lainnya Rp15,8 triliun.

Baca juga : Setiap Pekan, Pemerintah Transfer BLT ke 2,5 Juta Pekerja

Hasil dari kinerja neraca BUMN dan BLU penerima PMN, lanjut Sri Mulyani, terjadi lonjakkan total nilai aset yang pada 2005 hanya sebesar Rp363,2 triliun menjadi Rp2.912 triliun di akhir 2019, atau naik hingga Rp2.548. “Saya yakin ini pasti karena ada revaluasi. Namun memang kenaikan tinggi terjadi pada 2014 ke 2015 yaitu dari Rp1.000 triliun total aset BUMN penerima BUMN menjadi Rp1.944 triliun, hampir 2 kali lipat dari 2014 ke 2015. Ini pasti karena ada revaluasi, saya hampir yakin karena total aset melonjak,” jelasnya.

Lonjakan nilai aset tersebut, kata perempuan yang karib disapa Ani itu, berimplikasi pada melonjaknya ekuitas BUMN dan BLU penerima PMN. Tercatat ekuitas yang pada 2006 hanya sebesar Rp181 triliun naik menjadi Rp1.407 triliun di akhir 2019.

PMN pemerintah pada BUMN dan BLU turut berdampak pula pada pendapatan perusahaan, tercatat pada 2006 pendapatan perusahaan BUMN dan BLU penerima PMN hanya Rp193 triliun. Angka itu kemudian melonjak di akhir 2019 menjadi Rp858,1 triliun.

“Kalau dilihat dari laba bersihnya, pada 2006 laba bersih dari BUMN penerima PMN hanya Rp9,29 triliun. pada akhir periode 2019 laba bersihnya, pada 2018 bahkan mencapi Rp43,4 triliun namun turun ke Rp26 triliun pada periode 2019. Di antara itu laba bersih BUMN penerima PMN sempat negatif,” terang Ani.

Menyoal efektivitas kinerja BUMN dan BLU penerima PMN, imbuh dia, pemerintah melihat dampak bawaan yang dihadirkan oleh perusahaan penerima dana suntikan pemerintah. Meski sejatinya pemerintah dapat membelanjakan uang negara melalui belanja Kementerian/Lembaga, Transfer ke Daerah dan investasi pemerintah melalui PMN.

Dari pilihan yang ada, investasi pemerintah melalui PMN dinilai memiliki dampak yang positif tidak saja secara finansial melainkan ke sub perekonomian lain dan sosial. “Kalau bicara tentang dampak ekonominya, kita melihat pertama untuk leverage, secara rata-rata, 76% dari PMN yang disampaikan itu meningkatkan leverage mereka, berarti Rp1 rupiah menghasilkan dampak lebih dari Rp1 karena mereka bisa meng-crowd in,” jelas Ani.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menambahkan, persoalan pada PMN ialah mengenai return rate finance dari perusahaan penerima. Diakui olehnya tidak seluruh proyek yang dikerjakan perusahaan BUMN maupun BLU dapat memberikan return rate of finance yang lebih tinggi ketimbang dana utang yang diberikan pemerintah.

“Makanya saya minta, kalau kita menginjeksi, BUMN harus bisa meng-generate return yang lebih tinggi dari biaya utang, karena kalau tidak ya kita rugi aja. Makanya kalau kita lihat PMN dari 2005 sampai 2019, return on ekuitas di atas SBN hanya 25%. 74% mereka di bawah SBN. Ini menjadi salah satu alarm untuk kita,” imbuh Ani.

Baca juga : BLT Pekerja Bergaji di Bawah Rp5 Juta Diresmikan Jokowi Besok

“Tapi kan kita tidak lihat dari angkanya saja, mungkin dari sisi dampak ekonomi, karena bisa financial return kurang, karena kita tahu beberapa proyek itu memang financial return tidak terlalu tinggi, namun social rate of return-nya tinggi, karena kita tahu BUMN kadang membawa misi pembangunan,” sambungnya.

Oleh karenanya pemerintah tetap melakukan PMN kepada perusahaan BUMN maupun BLU meski tidak dapat memberikan return rate of finance yang tinggi. Pertimbangannya ialah dampak bawaan yang dihasilkan akan jauh lebih besar dan mampu mendorong perekonomian nasional.

Misal, pada proyek infrastruktur, pemanfaatan jalan akan menghemat waktu dan biaya kendaraan, pada proyek logisitk, akan ada peningkatan layanan, pada sektor kelistrikan akan terasa dampak elektrifikasi yang merata di seluruh wilayah Indonesia, di kawasan industri akan berdampak pada sektor pariwisata.

“Jadi kami membuat klaster untuk membuat juga dampak ekonomi sosialnya, termasuk berapa jumlah lapangan kerja yang diciptakan dan dampak nilai tambah ekonominya dari berbagai PMN yang kita sampaikan itu. Itu mungkin untuk mengimbangi soal rate of return yang mungkin secara financial di bawah dari biaya utang, namun dampak ekonomi sosialnya justify. Itu lah yang menjadi salah satu kita coba, sekarang sudah kita establish di internal kementerian keuangan,” tutur Ani.

“Kami coba untuk minta ke pak Erick supaya BUMN ada GCG, kami lebih kepada keuangan negara dan dampak besarnya. Sehingga BUMN itu bisa dimonitor, termasuk klaster UMKM ini kita membuat berapa banyak peningkatan keuntungan harian kepada mereka yang mendapatkan Mekaar, KUR, berapa banyak jumlah kenaikan dari kondisi prasejahtera ke sejahtera dan seterusnya,” pungkasnya. (OL-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Baharman
Berita Lainnya