Cerita Sri Mulyani : Preseden Pandemi Ada di Jaman Belanda

M Ilham Ramadhan
05/7/2020 08:05
Cerita Sri Mulyani : Preseden Pandemi Ada di  Jaman Belanda
Menteri Keuangan Sri Mulyani di DPR.(Antara/Aditya Pradana Putra)

Perekonomian Indonesia tidak luput dari kebijakan fiskal yang disusun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Peranan APBN identik dengan sejarah berdirinya bangsa Indonesia.

Kebijakan fiskal pertama yang lahir di Tanah Air merupakan peninggalan sekaligus upaya untuk mengejar cita-cita kemerdekaan bangsa dengan kondisi negara yang kala itu baru saja pulih dari penjajahan. 

Demikian disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam peluncuran dan bedah buku berjudul 'Terobosan Menghadapi Pelambatan Ekonomi', Sabtu (4/7).

"Sayangnya di Indonesia hal itu tidak ada dokumentasinya. Saya semenjak jadi menteri keuangan menyadari, banyak hal yang terjadi di republik ini kita tidak meng-capture-nya secara sangat detail sehingga banyak yang kita pelajari mungkin sekarang harus belajar dari oral learning seperti ini," tuturnya.

Pada masa orde baru, kebijakan fiskal mulai direformasi. Pembiayaan defisit hanya diperkenankan berasal dari utang bilateral dan multilateral. Itu berkaca pada kejadian hiperinflasi pada 1960-an, ketika pembiayaan utang dilakukan dengan cara mencetak uang.

"Di situlah disiplin itu menimbulkan suatu stabilitas," terang Sri Mulyani.

Perjalanan dan perbaikan fiskal berlanjut pada akhir 1980-an kala pemerintah mereformasi perpajakan. Reformasi tersebut dilakukan karena adanya gejolak harga minyak yang menggerus penerimaan negara.

Satu dekade kemudian, Indonesia memasuki era reformasi. Pada masa ini, kata perempuan yang karib disapa Ani itu, banyak aturan perundang-undangan yang dibuat dengan semangat reformasi, melepas diri dari jerat otoritarian pemerintahan.

"You can named it, UU itu mulai dari mulai UU Bank Indonesia menjadi independen, UU Keuangan Negara, Perbendaharaan Negara, UU BPK, UU Hubungan Keuangan Pusat Derah, Dsentralisasi Fiskal, UU perbankan, UU korporasi, UU Persaingan Usaha, itu semuanya adalah yang disebut pondasi dari ekonomi modern Indonesia yang dibangun dalam waktu luar biasa singkat oleh presiden Habibie," jelas Sri Mulyani.

"Saya kebetulan menjadi menteri keuangan tahun 2005 akhir, hingga 2010, itu kalau orang Jawa bilang ketiban sampur. Karena banyak UU itu dibuat pada akhir 90 dan awal 2000, dan implementasinya dimulai pada saat pemerintahan bapak SBY," sambungnya.

Kala menjadi bendahara negara, Ani mengungkapkan, begitu banyak tantangan yang dihadapi. Menjalankan amanat reformasi menjadi misi yang harus dipegang untuk menjaga pondasi perekonomian negara.

Kementerian Keuangan yang sebelumnya tampak tak bertaring, mau tak mau harus bergerak menonjolkan diri sebagai pengelola uang negara. 

"Itulah mungkin salah satu inti yang sangat penting di dalam me-reform institusi, membangun kapasitas, sekaligus kita membersihkan reputasi jelek seperti korupsi, inefisiensi dan lain-lain," sebutnya.

Di saat institusi pengelola keuangan negara berbenah dan memperbaiki diri, tantangan baru datang dari gejolak perekonomian global yang sejatinya tidak bisa diprediksi. Misal, melambungnya harga minyak dunia hingga US$100 di kurun waktu 2004-2009, menyebabkan pemerintah menaikkan besaran subsidi yang semula Rp90 triliun menjadi Rp350 triliun.

"APBN kita goyang, bagaimana kita mengolahnya dan mengelolanya. Kalau kita harus membuat reform di bidang subsidi berarti masyarakat harus menanggung harga BBM yang lebih tinggi. Namun di sisi lain kita tidak ingin kemiskinan naik. Jadi trade off ini, kepentingan jangka pendek dan pilihan-pilihan adalah kesulitan yang luar biasa besar," tutur Ani.

Saat dirinya kembali ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo menjadi menteri Keuangan untuk kali kedua, tantangan saat itu ialah mengenai industri 4.0. Digitalisasi dan pemanfaatan teknologi menjadi sesuatu yang harus dikejar.

Padahal, di saat yang sama, fokus pemerintah ialah membangun kualitas SDM, menciptakan iklim usaha yang sehat, produktivitas dan pembangunan infrastruktur. 

"Lagi kita sibuk begitu kita tiba-tiba kena shock covid ini. Ini juga merubah dan me-reset semuanya," ujar  Ani. 

Covid-19  bisa dikatakan extraordinary dan unprecedented karena  presedennya adalah 100 tahun yang lalu. 

"Dan saya enggak tahu kebijakan fiskal 100 tahun yang lalu itu bagaimana. Yang jelas Indonesia 100 tahun lalu masih dalam penjajahan Belanda," pungkasnya. (E-1) 
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Raja Suhud
Berita Lainnya